Tidur dengan Pareman
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Ketika melihat tayangan karnaval, tetiba ingatanku melayang pada setengah abad silam. Saat itu aku duduk di bangku kelas satu SPG (Sekolah Pendidikan Guru). Bersama teman-teman lain, saat tujuh belasan, aku mengikuti karnaval dengan mengenakan baju adat sebagai putri Bali.
Berjalan sepanjang entah berapa kilometer sejak siang, sore, hingga petang sekitar tiga jam tentu saja membuat badan lelah sekali. Apalagi menggunakan selop high heel yang lumayan berat.
Karena capek, ketika sudah selesai penilaian dan hari mulai gelap, guru pendamping menyarankan agar para gadis yang menggunakan alas spesial diminta nyeker saja. Tanpa alas kaki. Apalagi, jalanan sudah tidak sepanas siang tadi. Sementara, sekian pasang selop dengan tumit tinggi itu dibawa seseorang dengan bersepeda motor.
Setelah berhasil mengikuti gerak jalan dan karnaval tingkat kabupaten di kota kabupaten, esok harinya guru bertanya-tanya tentang kesan para peserta.
"Bagaimana kamu, Nin? Capek, nggak?"
"Sangat, Bu! Tapi saya bisa mengatasinya," jawabku meyakinkan.
Sementara, teman-teman lain mulai berdatangan merubung kami berdua.
"Bagaimana caramu mengatasinya?" tanya Bu Ismiati lebih jauh.
"Saya tidur dengan pareman, Bu!"
Tetiba salah seorang teman lelaki kami meradang dengan menjawab tegas.
"Tidak, Bu! Ninok meracau itu!" sergahnya membela diri di hadapan Bu Ismiati.
"Tidak, bagaimana? Kamu sok tahu!" semburku serius.
"Kamu jangan mengadu, ya!" bantahnya lantang.
"Aku tidak mengadu, loh. Aku memang tidur dengan pareman!"
"Loo! Lo! Jangan percaya, Bu! Saya tidak tidur dengannya!" jawab lantang teman yang bernama Parman.
"Lah, siapa yang bilang aku tidur denganmu?! Kamu ngawur saja!"
"Ya, kamulah yang ngawur! Mengapa bilang tidur denganku segala!"
"Ha? Siapa yang bilang begitu?"
"Laaa ... itu tadi! Mulutmu yang bilang tidur dengan Parman!"
"Owalaaah ... hahahaha!" Bu Ismiati tertawa dan segera melerai kami berdua.
"Kamu, ya Man, Parman! Dengar baik-baik! Ninok tidak bilang bahwa dia tidur bersamamu, tidur denganmu. Tidak! Tetapi ia menggunakan parem. Hahaha ...!"
"Oooo ...," jawabnya menunduk.
"Makanya dengar baik-baik! Kuping apa centhelan itu, Man!" sergah Sumarli sambil menahan tawa.
"Nah, sudah yaa ... Parman paham nggak di mana letak kesalahpahamanmu?"
"Iya, Bu. Maaf!"
"Pareman iku opo toh?" tolehnya pada teman-teman lelaki yang lain.
"Owalah ... dasar! Pareman iku bobokan, diluluri atau dilumuri koyo beras kencur ngono loh! Dasar wong ndeso!"
Salah seorang teman lain menjawab ketidaktahuan Suparman tentang parem atau param. Karena diucapkan terlalu cepat pareman yang berarti menggunakan parem, dibaca eh ... diucapkan seperti nama dia: Parman.
Meledaklah tawa teman lain yang mendengar insiden seputar kesan karnaval tahun 1973, lebih dari setengah abad silam.
"Kamu juga Nin ... mestinya jangan bilang tidur dengan pareman, tetapi tidur menggunakan parem! Hahaha ...."
Saat ini beberapa dari teman sekelas telah berpulang, satu di antaranya teman yang bernama Suparman di atas. Ia menderita kanker tulang. Gegara badminton, entah keseleo atau bagaimana, akhirnya lengan kanannya bengkak. Sempat diamputasi, tetapi nyawanya tidak tertolong setelah sekian lama dalam penderitaan.
Seandainya masih ada, ia pasti akan tertawa mendengar atau membaca cerita ini. Semoga kamu tenang di sana, Sahabat!
Malang, 4 Desember 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H