Bergelayut Tanya
Oleh: Ninik Sirtufi RahayuÂ
"Tolooong .... tolooooong! Ya, Allah .... bangunlah, Naaaak! Bangun ...," lengking jerit di tengah malam membangunkan seluruh isi keluarga.
Bahkan, karena suara membahana di sepi kondisi,  sukses mengagetkan dan berhasil membangunkan para tetangga. Secara spontan, yang sudah terbangun pun langsung berdatangan berkunjung ke rumah  tengah malam itu juga.
Jerit tangis pilu yang diulang-ulang itu terdengar sangat menyayat hati. Merobek sepi dan dinginnya malam selepas hujan. Memprihatinkan  siapa pun yang mendengarnya. Pasti yang masih terjaga akan ikut merasa betapa nyeri hati. Bahkan, pasti akan terasa ngeri mendengarnya.
Malam itu, malam Jumat! Dingin cuaca sehabis hujan sangat menusuk sehingga siapa pun makhluk yang sedang terbuai mimpi akan merasakan nikmatnya sejuk cuaca. Panas tak terasa lagi. Panas membara yang akhir-akhir ini melanda kota yang dulu terkenal dengan sebutan kota dingin. Paris van Java-nya Pulau Jawa di ujung paling timur!
Sisa-sisa hujan masih tampak di halaman. Basah dan lembab! Namun, justru sangat nikmat guna memeluk guling dan bergelung di bawah selimut. Menikmati mimpi-mimpi indah yang melenakan raga. Namun, sangat terusik oleh jerit pilu dan teriak permintaan tolong wanita paruh baya yang takut, khawatir, dan cemas akan kondisi putri bungsunya.
Sepupu perempuan yang berada serumah dengan Wangi sedang mengalami musibah, tepatnya sedang berulah. Ibunya yang biasa disebut 'Bude' adalah seorang single parent dengan dua putra -- sepasang cowok cewek -- itu menangis pilu di tengah malam buta. Segera si sulung, mengetuk daun jendela rumah mungil tempat Wangi tinggal.
Wicaksono yang dipanggil Sono itu mengetuk-ngetuk sambil memanggil-manggil nama Wangi agar segera bangun.
"Angiii ... Angiii ... bantu kami! Bangunlah! Angiii .... Cepat, bangunlah!" teriaknya terdengar gusar dan cukup kasar membangunkan perempuan berusia belasan tahun itu.
Dengan sangat kaget, Wangi pun terbangun dan segera mengikuti arahan si kakak sepupu.
"Ada apa, Kak?" Sambil mengucek mata agar kantuk sirna, mengusap wajah lengket berminyak, Wangi yang disapa Angi itu segera menuju pancuran air untuk membasuh muka.
"Jangan banyak tanya, ayo cepaaaatt!"
Ternyata, Bude sedang menangis memegangi tubuh si adinda yang bersimbah darah. Tepat berada di depan kamar mandi dan sumur, tempat adinda yang bernama Widuri itu mencoba melakukan bundir di tengah malam buta.
Darah menggenang hingga semua tampak merah. Sementara, raga Adinda terkulai lemas. Rona pasi dan bibir pun membiru. Mata terpejam. Napas dan detak jantungnya begitu lemah.
Wangi dan Sono segera berupaya dengan keras membantu memapah tubuh Widuri dan membawa ke dalam kamar. Darah masih terus menetes dari luka di pergelangan tangan. Sambil menangis memilukan, Bude menyingkirkan pisau tajam yang biasa digunakannya sebagai alat pemotong daging. Pisau yang setiap hari dimanfaatkan sebagai alat vital dalam rangka berjualan daging dan ikan di salah sebuah pasar terkenal di kotanya.
Para tetangga pun segera berdatangan satu demi satu mendengar jerit tangis Bude yang cukup lantang di malam sepi itu. Bahkan, salah seorang tetangga tergopoh-gopoh segera mempersiapkan kendaraan untuk membawa pasien ke rumah sakit secepatnya.
Rumah masuk gang sempit memang cukup menyulitkan. Akan tetapi, para tetangga yang guyub rukun itu sesegera mengupayakan agar pasien secepat mungkin dapat tertolong. Kebetulan seorang tetangga yang suami istri berprofesi sebagai perawat di sebuah rumah sakit daerah, kebetulan berada di rumah. Langsung beliaulah yang cancut tali wondo  menangani dengan bergegas membawa ke rumah sakit.
***
Ya, Bude yang single parent tersebut memang sebagai salah seorang pedagang ayam potong, daging, Â ikan laut dan air tawar, serta sayur mayur. Bude biasa berangkat pukul setengah lima pagi dan pulang sekitar tengah hari.
Sementara, Wicaksono yang disapa Sono, si putra sulung,  membantu mencari dan membeli dagangan sang ibu di pasar induk, Pasar Gadang. Sekitar sepuluh kilometer dari rumah. Di tempat inilah barang dagangan yang  berupa hasil bumi di drop dari tangan pertama. Demikian juga bahan pangan lain seperti daging dan aneka jenis ikan. Semua memiliki harga di bawah standar pedagang, apalagi kalau sudah berlangganan. Semacam ada konvensi, sesama pedagang bisa sama-sama berbagi keuntungan.
Dengan menggunakan sepeda motor, Sono kulakan sejak sekitar pukul delapan malam, pulang sekitar dua jam kemudian. Setelah menata dagangan dan berdiskusi tentang harga dagangan hari itu dengan ibunya, Sono pun beristirahat. Menjelang dini hari tentunya.
Benar, sekitar tengah malam  Sono dan sang ibu terbiasa berdua mempersiapkan dagangan yang hendak dibawa ibunya ke pasar pada pagi harinya. Sang bunda terbiasa menggunakan moda transportasi becak. Ibu paruh baya tersebut, memiliki komunitas dan langganan tersendiri.
Sambil membawa dua bakul besar yang disebut ebor, tas keranjang, dan beberapa benda lain, sang  ibu akan berangkat berbarengan dengan tetangga, sesama pedagang. Dengan berdua, tentu biaya perjalanan langganan becak itu lebih murah. Tentu saja becak penuh dagangan tersebut berjalan terseok-seok melintas gang perkampungan hingga jalan raya menuju pasar cabang yang cukup terkenal dan ramai pengunjung.
Di kampung tempat mereka tinggal, memang beberapa ibu begitu aktif dan kreatif memberdayakan dirinya. Mereka bekerja sama menjadi pedagang dan mengikuti arisan dengan sangat aktif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kesejahteraan keluarga pun terpenuhi. Tidak ada anggota masyarakat yang menganggur. Ini sangat bagus untuk dicontoh oleh anggota masyarakat di daerah sekitarnya.
Ketika sang ibu berjualan pagi hingga siang, Sono biasa beristirahat dengan tidur mendengkur tak memedulikan apa pun. Pola hidupnya tampak terbalik, bagaikan hewan nokturnal! Ketika orang sedang tidur, Sono justru bekerja cukup keras. Sementara, ketika masyarakat giat bekerja keras, Sono beristirahat. Tidur begitu pulas!
Menjelang sore, ia terbangun dan melakukan aktivitas. Mendekati pukul delapan hingga pukul sepuluh malam, bahkan tak jarang hingga tengah malam, ia bertugas kulakan, mencari dagangan yang bisa dijual kembali oleh sang bunda. Demikian rutinitasnya setiap hari.
Pemuda lajang tersebut sangat pendiam dan cukup pemalu. Karena itu, tidak pernah terdengar suara, apalagi gurau dan tawanya. Tergolong pemuda yang serius dalam menekuni, menghadapi, dan menghayati hidup yang dirasanya cukup keras. Â Â
***
Berbeda dengan sang kakak yang sedikit pemalu dan pendiam, Widuri lebih agresif. Alih-alih disebut sedikit genit. Gadis usia belasan tahun tersebut, sejak kecil terkenal sebagai perempuan ceria, peramah, dan pandai menari.
Sejak usia taman kanak-kanak, si adik bungsu yang berbakat pada dunia seni tersebut diberi kesempatan untuk mengikuti latihan tari. Kebetulan di kampung sebelah ada seorang guru tari terkenal. Oleh karena itu, saat usia sekolah dasar ia telah menguasai beberapa tarian daerah dan tradisional dengan cukup piawai. Tak heran kalau setiap ada kesempatan, si adik mendapat peluang untuk mempertontonkan kebolehannya itu. Jadi, tak mengherankan kalau nama si adik lebih cemerlang dibanding si sulung.
Paras Widuri yang ayu,  berkulit kuning langsat, berambut hitam legam agak bergelombang dan panjang tergerai, apalagi dihiasi lesung pipi dan gigi gingsul, siapa pun pasti berdecak kagum saat melihatnya pertama kali. Apalagi sikap dan sifatnya pun positif, humble, friendly, care, dan  memiliki kecerdasan sosial dan ingatan yang mengagumkan. Hal itu tampak pada penguasaan gerak tari yang dengan cepat bisa diserapnya.
Gerakan tarinya begitu gemulai, apalagi diiringi dengan senyum, tawa tipis, dan gerak mata memesona. Jika Widuri berada di atas pentas, pastilah para pengagum menikmati sajian tarian yang disuguhkannya. Hanya satu kata yang layak disampaikan padanya: perfeks!
Di bidang seni, orang mengakui betapa Widuri sangat menguasai teknik, gerak, situasi panggung, dan seni ekspresi diri. Namun, di bidang keilmuan, terutama ilmu eksakta, tampaknya ingatan dan memori Widuri  agak lemah. Oleh karena itu, tentu saja ia memilih jurusan ilmu pengetahuan sosial. Konon, di jurusan tersebut memang menjadi gudang cewek cantik dengan nilai akademik tidak jauh menonjol.
Begitulah keadilan Allah. Jika seseorang memiliki kelebihan, pasti akan dibarengi dengan kekurangan pula. Ini hukum alam yang sangat sempurna, bukan? Dengan demikian, memungkinkan seseorang untuk berintrospeksi diri. Tidak gegabah dan jumawa, sebab tentu saja di atas langit masih ada langit!
Â
 ***
to be continued
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H