Jerit Jerat di Kelam Malam
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Ampuuunn, Pak! Ampuuunnn!" jerit tangis kudengar tengah malam buta.
Seperti malam-malam sebelumnya, saat terbangun tengah malam selalu kudengar jerit tangis membuat hati ini  miris.
"Ah, suara siapa, ya ...? Mengapa tiap terbangun tengah malam selalu kudengar jerit itu?" senandikaku di malam kelam sepi.
Jerit melengking itu membuatku berpikir negatif. Apalagi malam Jumat Paing yang konon dipercaya beraura magis dan mistis! Maka ... tak urung bulu kuduk pun berdiri. Merinding disko!
"Siapa teraniaya? Siapa penganiaya? Jangan-jangan ... ah," spekulasi liarku  melata ke mana-mana.
Kalau siang, Â kampung ini tenang-tenang saja. Bahkan cenderung damai terasa. Namun, jika di tengah kelam malam senyap, mengapa selalu kudengar jerit semacam lolong serigala seperti itu? Haduuuhhh .... kelopak mata pun sulit terpejam kembali.
Dua purnama aku pindah ke desa ini karena tugas mengajar di sekolah swasta seyayasan dengan sekolah lamaku. Aku menempati sebuah kamar di lantai tiga, sebuah rumah paling asri di desa itu. Berdua dengan salah seorang teman wanita.
Ada beberapa penghuni selain aku sehingga rumah tampak regeng di siang hari. Akan tetapi, jarak antara rumah satu dengan yang lain cukup jauh. Tidak sepadat rumah-rumah di kota, tempatku mengabdi sebelumnya.
"Mbak ... beberapa malam kalau terbangun, kok kudengar jeritan suara perempuan meminta ampun, ya. Mbak dengar juga?" tanyaku pada Dian, teman satu indekos pada suatu pagi.
Dengan mata terbeliak, ia menelengkan telinga, "Apa? Benarkah?"
"Ah, pasti itu jerat si ayah di setiap kelam malam!" bisiknya.
"Maksudnya?" selidikku.
"Kasihan, anak tiri itu harus melayani nafsu bejat sang ayah sepeninggal ibunya wafat!"
"Oh!?"
"Tak ada yang berani lapor. Si ayah komandan preman pasar besar!" lanjut Dian.
***
Note:
Regeng: Â tidak sepi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H