Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku tunggal 29 judul, antologi berbagai genre 169 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terbantai Badai, Gugur Sehelai

18 November 2024   23:14 Diperbarui: 19 November 2024   04:27 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terbantai Badai, Gugur Sehelai
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"De, anakmu kuwi hamil di luar kandungan, loh! Dudu operasi usus buntu! Makanya segera resmikan hubungan dengan pacarnya!" bisikku padanya setelah kuseret menjauhi area, menghindar dari beberapa keluarga yang sedang besuk di rumah.

Aku sengaja menekankan dan menegaskan bahwa putri satu-satunya itu pasca mengalami operasi karena kondisi hamil di luar kandungan. Bukan karena sakit usus buntu. Namun, ternyata orang tua tunggal tersebut salah paham dan meradang. Bisik-bisikku dengan suara kecil dan perlahan-lahan malah dijawab dengan lantang.

Ibu single mother tersebut bernama Jamilah. Ia  sepupu suami yang pernah ikut kami sebagai asisten rumah tangga. Bahkan, pada akhirnya, puluhan tahun terakhir tetap setia mendampingi kami. Ia kusapa dengan panggilan De, singkatan dari Bude. Maksudnya membiasakan anak-anak agar memanggilnya demikian juga.

"Kata siapa? Dia operasi usus buntu!" teriaknya  membahana.

Spontan aku terdiam. Pikirku, dia sengaja menjawab lantang agar kebohongannya teralihkan. Atau mungkin saja si pasien yang berbohong sehingga sang ibu tunggal lebih mempercayai putrinya daripada omonganku barusan.

"Hmm .... Sampeyan enggak tahu kalau aku kenal bidan kepala ruangannya, kan?" aku masih tetap berbisik agar tidak terdengar tetamu lain.

"Sampeyan kalau enggak senang dengan kami, silakan! Tapi jangan memfitnah!" bentaknya berang.

"Ya, sudah! Aku tidak akan ikut-ikutan lagi. Apa pun keadaan anakmu, aku enggak mau tahu lagi. Stop ikut kami. Silakan hidup sendiri-sendiri!" ancamku tegas.

Saudara sepupu suami yang telah beberapa tahun ikut kami itu masih lanjut merepet dan menggerutu. Ia tetap bersikeras mengatakan dan menganggap bahwa putrinya operasi apendiks. Mau tidak mau, beberapa kerabat melerai kami berdua. Mereka mengira kami bertengkar. Padahal, posisiku memberi informasi, kalau-kalau si ibu tidak mengetahui kondisi putrinya secara faktual.  

Mereka, para tetangga, juga mau saja dibohongi! Sementara, fakta yang terpegang di tanganku justru dianggap fitnah! Padahal, kemarin aku mencari tahu ke rumah sakit, menemui bidan kepala ruangan. Kebetulan, bidan tersebut adalah istri teman guru di tempatku berdinas. Teman bidan tersebut berterus terang bahwa Tiwi memang dalam kondisi hamil. Akan tetapi, janin tidak bersemayam di rahim sehingga harus dioperasi.

Ya, sudahlah. Pokoknya aku sudah berusaha memberitahukan kondisi faktual putrinya itu. Maksudku, agar hubungannya dengan seseorang segera dihalalkan sehingga tidak terjadi kehamilan yang kedua kalinya. Itu saja, sih! Tidak ada maksud lain. Bukan untuk mempermalukan juga, melainkan untuk kebaikan si pasien yang sedang terbaring di tempat tidur dikerumuni para tetangga.

***

Beberapa saat sebelum peristiwa tersebut terjadi, Tiwi, putri asisten rumah tangga  yang kami ambil sebagai anak angkat, berhasil lulus dari sekolah menengah kejuruan di tempatku berdinas.

Karena SLTA tersebut sekolah pendidikan guru, Tiwi diterima sebagai guru honorer di salah satu sekolah dasar negeri, berjarak sekitar lima kilometer dari rumah kami. Bersyukur sekali gadis manis itu bisa mencari nafkah sendiri setelah lulus. Sementara, tidak semua lulusan bisa segera memperoleh tempat mengajar seperti dirinya.

Karena jarak antara rumah dan sekolah tempatnya mengajar cukup jauh, ia berinisiatif untuk mandiri. Selanjutnya, agar tidak kelelahan, ia meminta izin untuk indekos di dekat sekolah tempatnya bertugas. Aku acungi jempol! Salut!

Sebenarnya, Tiwi dan ibunya memiliki tempat tinggal, suatu rumah mungil, tepat berada di belakang rumah kami. Ibu  dan anak gadisnya itu awalnya ikut dengan kami karena rumah mereka dikontrakkan. Namun, setelah masa kontrak habis, mereka berdua berkeinginan menempati rumahnya sendiri.

Suatu Sabtu siang menjelang sore, Tiwi pulang ke rumah. Karena melewati gang di sebelah rumah kami, Tiwi datang kepada kami sambil memperkenalkan seorang pemuda. Dari tampilan fisik dan logat yang digunakan, tampak pemuda tersebut berasal dari daerah Indonesia bagian timur.

Diperkenalkanlah si hitam manis rambut keriting itu sebagai pacarnya kepadaku. Akan tetapi, jantung ini seperti ditikam karena aku mencium aroma kurang sedap, aroma minuman keras yang otomatis membuatku merasa mual. Maka, kuseretlah si gadis ke kamarku dan kuberi wejangan penting.

"Wik ... satu yang Mama minta darimu. Jagalah harkat dan martabatmu sebagai seorang wanita baik-baik. Jangan sembarangan bergaul dengan lelaki, apalagi beraroma tuak!" pesanku wanti-wanti.

"Iya, Ma!" jawabnya agak cuek.

"Kalau Mama bilang sebaiknya ... kamu menjauh saja darinya. Mama kurang sreg! Hati Mama mengatakan bahwa ... hmmm ... kesan Mama negatiflah!" lanjutku.

"Oke!" jawabnya agak sewot.

Sebagai ibu angkat, mendapatkan respons seperti itu, aku merasa ada hal yang aneh. Sepertinya mereka telah melampaui batas wajar. Atau ... mungkin itu perasaanku saja. Naluri keibuan yang sedemikian peka sehingga merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Sejak kuberi nasihat seperti itu, sikapnya sangat berubah. Sangat cuek. Tampaknya sangat marah dengan penilaianku terhadap pacarnya.

Hingga sekali lagi kutegaskan, "Kalau kamu masih menganggapku sebagai mamamu, silakan pikirkan baik-baik pesan Mama. Namun, kalau kau sudah tidak bisa diberitahu, baiklah ... jangan pernah lagi panggil aku Mama! Silakan semau kamu. Kamu bebas, kok!"

Sejak saat itu, ia tidak mau bertegur sapa lagi denganku. Aku diam dan mendiamkannya. Tidak peduli lagi dengan apa pun yang dilakukannya. Apalagi, ibunya ikut-ikutan. Ia menyatakan bahwa sejak hari itu pamit dan tidak mau lagi bekerja denganku.

Ya, sudahlah. Aku terima pengajuannya untuk mengundurkan diri dari tugas sebagai asisten rumah tangga. Kedua jagoanku yang masih duduk di sekolah dasar kuberi tahu baik-baik agar siap membantuku karena tidak lagi menggunakan jasa asisten rumah tangga.

Akhirnya, aku dan suami pontang-panting melaksanakan tugas kerumahtanggaan, sambil tetap berkarier di dalam dunia pendidikan. Kutata tugas kedua balitaku sehingga tidak merepotkan. Beruntung mereka anak-anak baik yang bisa diajak bekerja sama. Tidak rewel dan tidak merepotkan.

***

Sejak operasi hamil di luar kandungan, kedua sejoli makin tampak sering berduaan. Si pemuda datang dan pergi dengan leluasa berada di rumah mungil mereka. Bahkan, dibeli-belikanlah perabotan, seperti televisi, seperangkat sofa, dan almari. Masih zaman awal-awal telepon genggam, rupanya si gadis pun dihadiahi benda bergengsi itu sehingga tampilan mereka kian modis dan bak orang kaya baru. Makin nyaman juga, kan?

Karena tidak mau bertegur sapa denganku, aku pun tidak pernah mengusik kehidupan  mereka. Sekalipun beberapa tetangga menanyakan kepada kami status kedua sejoli itu, kami hanya angkat pundak, tak hendak berkomentar apa pun.

***

Beberapa saat kemudian, kulihat perut Tiwi makin besar. Namun, hubungan mereka berdua tidak segera diresmikan. Tentu saja menjadi bahan gunjingan masyarakat, kan?

"Jangan ikut campur, Ma!" pesan suami kepadaku.

"Nggak akan pernah!" jawabku.

"Iya, bagus. Kan setidaknya beberapa bulan lalu sudah Mama ingatkan agar segera diresmikan, toh?"

"Sudah kuberitahukan, tetapi ibunya ngeyel! Ya, sudah. Kita tidak ikut-ikutan!"

Hari berganti, bulan pun maju dengan pesatnya. Kandungan Tiwi kian besar sehingga tetangga pun terdengar makin santer berkasak-kusuk. Sementara, aku dan suami tidak mau tahu karena memang mereka tidak mau diberi tahu.

Tiba-tiba ... salah seorang tetangga mengabarkan bahwa Tiwi melahirkan, tetapi tidak bisa pulang karena sakit.

"Ma, ... Tiwi selalu menanyakan Mama, loh! Apa Mama tidak ingin nyambangi?" tanya salah seorang kerabat suami.

"Iya, loh Ma! Kasihan! Ternyata pacarnya itu sudah beristri ... dan istrinya pun sedang hami besar!" lanjut salah seorang kerabat lain yang menghendaki aku menengoknya di rumah sakit.

Aku terhenyak. Kaget sekali.

"Apa? Pemuda itu sudah beristri?"

"Ho ... oh! Makanya Tiwi nggak dinikahi!"

"Ya, ampun! Trus bayinya?"

"Nah, itu ... katanya bayinya diurus oleh pihak sana. Termasuk biaya persalinan!"

"Katanya bayinya laki-laki, Ma!" jawab kerabat yang lain.

Ya, sejak menikah dan memiliki anak, masyarakat sekitar tempat tinggal kami memanggilku dengan sapaan 'Mama' juga. Jadi, baik  mertua maupun para tetangga kompak memanggilku demikian! Hehe ... lucu juga!

"Ya, Tuhan!" keluhku. "Malang benar nasibmu, Nak! Sudah sejak kecil kehilangan ayah, mendapat pacar yang menghamili, tetapi tidak bertanggung jawab!"

"Ma ... kalau Mama kasihan, mari kita tengok! Siapa tahu kehadiran Mama menjadi obat buatnya!" gelitik seorang kerabat merayuku.

Akhirnya, aku dan kerabat tersebut pun besuk di rumah sakit. Melihat kondisinya, aku jatuh iba. Kata perawat kesadarannya tinggal lima puluh persen saja. Maka, aku berinisiatif untuk membantu jaga malam agar ibunya bisa beristirahat di siang hari.

Menjaga pasien dengan kondisi penuh selang di mana-mana. Tabung oksigen, kateter, infus, dengan tangan dan kaki diikat demi meminimalisasi pergerakan, sungguh sangat memprihatinkan. Harus dijaga agar tidak banyak bergerak.

Kondisi makin drop. Tepat pada hari kesepuluh, sekitar pukul 20.10 an ia bertanya padaku dengan susah payah, "Ma ... Mama ngantuk?"

"Enggak, Nak. Kalau kau mengantuk, tidurlah! Mama akan menjagamu di sini!"

"Ma ... titip, ya!"

"Titip apa?"

"Titip Ibuk ... titip ... titip ...," suaranya melemah.

"Dont worry be happy, Nak! Ada Tuhan yang menjaga ibumu ... anakmu. Jangan pikir yang lain, pikirkan kesembuhanmu saja!"

Ia mengangguk-angguk sambil tersenyum sangat manis.

 Sekitar pukul 02.00 aku tak bisa tidur sama sekali. Bulu kudukku terasa merinding. Aku merasa ada seseorang, tetapi kenyataannya tidak ada.

Pasien yang baru datang di ranjang sebelah tidur nyenyak. Penjaganya pun sedang tidak ada di tempat. Biasanya, jika pasien tidur, para penjaga akan tidur di luar kamar, di depan kamar, atau di tempat khusus yang diperuntukkan bagi para penunggu. Masing-masing pasien hanya diizinkan satu orang penunggu saja.

Setengah jam kemudian, kulihat oksigen tidak bergelembung. Perasaanku tidak karu-karuan. Aku kebingungan dan langsung memencet bel.

Beberapa saat kemudian suster jaga datang, memeriksa sana-sini. Mereka begitu sibuk sehingga aku harus keluar dari ruangan itu.
Di depan mataku Tiwi mengembuskan napas terakhir. Akan tetapi, meskipun selalu mengamati, aku tidak tahu kalau dia sudah pergi. Sungguh pengalaman luar biasa yang tidak pernah bisa kulupakan hingga saat ini.

Salah seorang perawat mengabarkan padaku bahwa diagnosis dokter Tiwi mengalami kanker paru-paru stadium akhir. Itu yang tidak pernah kuketahui meskipun sepuluh hari aku membersamainya.

"Selamat jalan, Nak!" kataku sambil mengiringi brankar jenazahnya menuju kamar jenazah.

*** 
Note:
"De, anakmu kuwi hamil di luar kandungan, loh! Dudu operasi usus buntu!"
De anakmu itu hamil di luar kandungan, loh! Bukan operasai usus buntu!
Sampeyan : kamu, Anda
Nyambangi: mengunjungi
Wejangan : nasihat
Wanti-wanti : jangan sampai tidak dilakukan
Sreg : pas
Ngeyel: selalu membantah

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun