Nostalgia Pilu
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Empat dasawarsa silam, sepupu datang ke rumah saat kondisiku masih berantakan. Baru saja lulus dengan dua balita, tentu saja rumah tangga kami masih fase merintis. Sepupu merupakan mahasiswa dengan berbagai kesulitan. Bersyukur tidak berharap apa pun. Hanya sekadar menjalin silaturahmi agar tali tidak terputus dan kepaten obor. Tetap ada relasi antaranggota keluarga sehingga tidak hilang begitu saja.
Kesulitan perjuangan hidup berfokus pada perbaikan, peningkatan martabat, khususnya  segi ekonomi,  kami bekerja keras hingga sedikit abai pada relasi antarkeluarga. Bahkan, terlalu keras. Sadar bukan keturunan sultan, kami  mempersiapkan segala sesuatu, khususnya dana pendidikan tiga jagoan dengan prestasi cemerlang.  Getol  mempersiapkan agar mereka sukses meniti pendidikan menuju karier prima. Kerja, kerja, dan kerja adalah motto kami sehingga pagi hingga malam mengais rezeki di luar rumah. Terpujilah Allah, setelah setengah abad  yang diidamkan tercapai karena kasih-Nya.
Datanglah virtual curhat sepupu menumpahkan kekesalan pada seorang keluarga di masa silam. Kujawab masih lebih parah perlakuan yang bersangkutan kepadaku. Kuncinya: harus disadari karakternya, berusaha melupakan, memaafkan, menghentikan agar kisah pilu itu selesai. Stop di kita. Tak lama curhat pilu panjangnya dihapus dan dituliskanlah ucapan terima kasih atas pencerahan yang kunyatakan. Terlebih sudah sama-sama menghadapi usia senja, tak baik mengingat nostalgia pilu masa lampau. Lebih elok berpikir positif, bertindak bijak sebagai kunci penolong memulihkan luka batin itu. Setuju?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H