Senyum yang membuat semua orang tergila-gila karena dihiasi gingsul dan lesung pipi penambah manis penampilannya. Ya, senyum yang meluluhlantakkan hati Mas Dewo.
Usai menikmati gratisan aku pamit. Tidak jadi memasuki salah satu  kelas di kampus, tetapi ke tempat kursus sulam pita di Jalan Argopuro.
Hari berganti hari, bulan pun berganti bulan. Tepat tiga bulan aku meninggalkan Mas Dewo, kudengar ia makin dekat dengan Rianti. Â
Musim hujan belum berakhir. Kursusku menyetir selesai. Kulaporkan kepada Ayah kesiapanku mengendarai mobil. Sekalian minta izin pinjam mobil  Minggu besok karena ingin memperlancar skill.
"Wah, hebat! Ok, kau boleh pinjam mobil, tapi harus dengan sopir! Bagaimana?"
"Lah, apa gunanya aku lulus ambil SIM A, Ayah?" protesku.
"Ya, nanti kamu boleh pegang ketika di tempat sepi. Biar sopir baru membawamu ke tanah lapang atau tempat terbaik!" urai beliau.
Hari Minggu yang kutunggu tiba. Pagi itu seseorang datang mencari ayahku. Penampilannya sangat rapi. Tampak dia pemuda baik-baik. Ternyata, Ayah memperkenalkan sebagai sopir barunya.
Setelah berbicang-bincang sebentar, beliau mengizinkan kami berjalan. Ayah memintanya mengawalku memperlancar kemampuan menyetir. Pemuda itu menyanggupi dan bersedia menjadi instrukturku.
Witing tresna jalaran saka kulina. Itu yang terjadi padaku. Sopir tampan ini ternyata lulusan cum laude  dari Matematika, Unibraw. Ia sedang menunggu pengumuman setelah sekian kali tes di bank ternama. Prima Pradana namanya.
Saat itu setelah ia berhasil diterima kerja, "Will you merry me?" Disodorkannya cincin dengan tersenyum manis padaku.
"Menurutmu, bagaimana aku harus menjawabnya? Bukankah ini kesempatan langka dan bagus sebagai pengobat luka setelah terpisah dengan seseorang yang kusayangi, tetapi hubungan kami tidak disetujui keluarganya?" senandikaku menanggapi senyum yang begitu itu.