Anai-anai dan Belalang Sembah
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Pada suatu pagi  sejuk, seekor Belalang Sembah sedang bertengger di atas dahan pohon amazon rendah. Ia sedang menikmati sinar matahari yang masuk lewat celah-celah daun. Angin bertiup sepoi-sepoi basa menambah indah panorama pagi. Matanya yang amat besar diarahkan ke segala penjuru. Bukan untuk melihat mangsa, melainkan hendak melihat sesiapa yang sudah bangun. Ia ingin memamerkan kepiawaiannya menari.
Ya, di kebun itu terdapat berbagai tanaman, baik rendah maupun tinggi. Oleh karena itu, tentu saja banyak hewan yang betah tinggal di sana. Ada kawanan burung kutilang yang setia bertandang, jika pohon amazon sedang berbuah masak. Ada ruak-ruak dari rumpun bambu sebelah, tepatnya di tepian sungai, yang sering melihat-lihat suasana kebun saat sedang sepi.
Bahkan ada pula nyambik yang tetiba berjalan-jalan saja di atas pagar tembok. Entah dari mana dan menuju ke mana, Belalang Sembah tak pernah peduli. Yang ia sukai adalah bertengger di tempat hangat sambil memamerkan liuk indah gerakan tubuh yang memesona.
Tiba-tiba ... si Belalang Sembah melihat alur memanjang dari arah tanah menuju ke atas di batang pohon mangga. Karena heran dan ingin tahu, Belalang Sembah pun mendekatinya.
Gemuruh suara di dalam terowongan yang sengaja dibangun oleh hewan-hewan kecil itu. Rasa penasaran si belalang makin menjadi-jadi. Lalu, ia menyentuh ujung terowongan yang masih lembek.
"Haiii ... kenapa kau rusak bangunan kami?" teriak beberapa hewan kecil dari bilik dinding terowongan.
"Oh, buat apa kalian bikin bangunan ini?" tanya Belalang Sembah dengan mata melotot. Heran bercampur bingung.
"Ya, kami hendak mencari dan menyimpan makanan. Terowongan ini sebagai jalur transportasi dari sumber asal makanan ke gudang bawah tanah!" jawab salah seekor dari ratusan anai-anai itu sambil menyembulkan diri dari terowongan yang mereka buat.
"Ha? Buat apa?" heran si belalang.