Namun, sang kakak tidak tahu betapa bergemuruhnya jantung si adik begitu berada di lingkungan sosok pemuda yang menjadi idolanya. Lina tidak pernah paham, mengapa raganya bergemetaran seperti itu. Akan tetapi, bukannya ketakutan, makin ingin berdekatan saja. Aneh, kan?
“Ah, ada apa dengan diriku ini? Mengapa panas dingin, tetapi gemetar luar biasa ragaku? Duhai, jantungku. Janganlah hendak melompat begini!” rutuknya.
Dengan masih menyimpan geletar hebat, bahkan hingga seolah menderita tremor, dihidangkannyalah hasil karya berupa omelet istimewa.
“Sudah, ya, Mas. Silakan dinikmati. Lina hendak kembali ke kamar. Jangan minta ditemani!” ujarnya sambil menyodorkan dua mangkuk di hadapan mereka.
Mungkin sang kakak sulung tidak peka bila saat yang sama suara adik berubah agak parau menahan gejolak rasa. Suara yang susah dikemukakannya gegara nurani tak berkompromi. Gerakan tangannya pun tremor sehingga nyaris terjatuh dua mangkuk saling terantuk. Beruntung, dua pemuda di hadapan tidak menyadari, sementara Lina melakukannya dengan kecepatan luar biasa guna menyembunyikan rasa di dada.
“Terima kasih, Dik!” sambut Wawan kembali tersenyum manis.
“Duuhh! Wahai jantungku, jangan melompat keluar, ya!” batin Lina salah tingkah di hadapan dua pemuda tampan tersebut.
Diseretnya ragu-ragu langkah layu menghindar magnet mahadaya yang seolah hendak menyedot raganya mendekati sang pujaan. Masih sambil sesekali menoleh seolah tidak rela meninggalkan sosok pemuda idola.
***
to be continued