“Wan … mau T*lak Ang1n, juga kan?” tolehnya pada sahabat dan dijawab dengan anggukan serta seulas senyum manis.
“Kau belum merasakan omelet buatan adik bungsuku ini, kan? Dua hari lalu, kuincip omeletnya …. hmmmm enak betul! Sayang sekali, aku cuma cicip sedikit!” pamernya.
“Hmmm, cocok banget kalau ada yang hangat-hangat!” sambung Wawan sambil menatap si gadis manis.
Deg! Jantung Meylina seolah hendak melompat keluar ketika pemuda jangkung itu menatap manik netranya sambil tersenyum. Seulas senyum di raut pucat pasi terukir sempurna. Namun, dua belah telapak tangan pun terasa tremor jua.
“Ya, Allah …,” batinnya mengeluh berat.
“Ah, sepakat!” ujar sang Kakak mengayunkan lengan tanda persetujuan, “Cakep!”
“Ayolah cepat, Dik! Malah bengong!? Tega kau melihat kami pun menggigil begini?” suara sang kakak sulung mengagetkan.
“Oooh!” lirih kaget Lina yang segera berbalik, menyeret kaki ke arah dapur kembali.
Kedua pemuda itu segera duduk manis di meja makan sambil menunggu upaya si adik yang sedang berkutat dengan peralatan dapur. Sang kakak benar-benar tidak menyadari betapa perang batin mendera nurani sang adik yang masih mengawali masa remajanya.
“Hmmm … jam segini minta dimasakkan omelet? Dasar manja!” pikirnya.
Dibuanglah jauh-jauh keinginan hendak melanjutkan mimpi gegara kakak dan sahabatnya merajuk meminta membuatkannya makanan hangat. Beruntung Lina cukup terampil membuat omelet sehingga dalam waktu cepat bisa menyediakan dua porsi pesanan di hadapan sang kakak.