Larung Sembonyo
Namun, seiring perjalanan waktu ingatan terhadap putra semata wayang pun masih terngiang dan tak terhapus di dalam memori ingatannya.
"Mengapa harus terpisah dengan cara yang tidak dikehendaki seperti ini!" keluh yang selalu disampaikannya kepada sang Pencipta Langit dan Bumi. Â
"Suatu saat kita pasti bertemu, Nu!" kalimat ini selalu diselipkan di dalam doa-doanya setiap kala. "Semoga kalian baik-baik saja di mana pun berada!"
Masih diingatnya pesan Ketam suatu saat beberapa tahun silam, "Tenang, Nu menuju ujung timur Pulau Jawa, tetapi kedua cucu telah menyeberang ke Bali!"
Namun, sejak berita terakhir itu belum diketahui perkembangan berikutnya.
"Aman terkendali," hanya itu yang diperoleh sebagai balasan dari teman seperjuangan itu.
Ketam dan beberapa anak buahnya masih mendalami kasus demi kasus yang menjadi sepak terjang G3, Geng Genggong Group yang telah memanipulasi data dengan berbagai cara.
Memang, harta yang diperoleh dengan cara haram itu tidak membawa berkah. Duo De yang mengetahui bahwa rumah dan usaha yang dijalankan dan kemudian ditinggalkan, baik oleh De One maupun Nu itu segera diambil alihnya. Namun, karena kurang menguasai ilmu marketing, para relasi yang semula menjadi pelanggan saudaranya itu memutuskan hubungan kerja. Lambat laun, perusahaan tersebut mati secara perlahan.
Apalagi mantan pekerja saudaranya yang dikabarkan tewas tersebut merasa ketakutan dan mengundurkan diri satu demi satu. Duo De pun angkat tangan.
Desas-desus bahwa bekas gudang dan rumah besar yang ditinggalkan De One yang biasa dipanggil juragan sepuh itu menjadi angker. Roh gentayangan pun dipercaya sering mengganggu sehingga tidak seorang pun berani berada apalagi memasuki rumah yang telah ditinggalkan penghuninya tersebut. Semua orang percaya bahwa juragan sepuh telah tewas dalam kecelakaan karena mobilnya terpeleset masuk ke jurang.
Apalagi Nu yang juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya entah ke mana. Masyarakat menduga Nu kembali ke luar Jawa dan makin yakin bahwa rumah peninggalan juragan sepuh tersebut benar-benar angker. Oleh karena itu, tidak seorang pun berani mendatanginya.
Kedua saudara kandung juragan sepuh, yakni Duo De pun terpengaruh atau mungkin ingin meyakinkan masyarakat bahwa saudara tuanya itu telah meninggal. Mereka melakukan selamatan dan mengundang masyarakat, misalnya tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya. Demikianlah, opini masyarakat begitu kuat: juragan sepuh wafat. Kini Nu beserta istri dan kedua anaknya diyakini tidak kuat tinggal di rumah peninggalan itu hingga akhirnya kembali ke luar Jawa. Demikianlah desas-desus yang didengar dan diyakini oleh masyarakat sekitar.
***
Larung Sembonyo adalah budaya sedekah laut yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh Nenek moyang dari masyarakat lokal nelayan Prigi terwujud dalam upacara adat. Hal ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat nelayan Prigi akan hasil laut yang telah diperoleh. Upacara ini juga sebagai permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika mencari ikan di laut. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian kebudayaan masyarakat Kabupaten Trenggalek, terutama yang tinggal di pesisir Pantai Prigi.
Pada saat puncak upacara inilah Ketam sengaja hadir menjumpai De One di rumahnya yang disebut padhepokan. Mengambil istilah dari bahasa Jawa kuno, De One sengaja menghidupkan kembali istilah lama yang disukainya itu.
Rumah itu sederhana, berada di pedalaman lembah perbukitan indah daerah Kecamatan Watulimo, Trenggalek Selatan. Nama dusunnya adalah Ketro.
Dusun Ketro, Desa Dukuh, Watulimo, yang selama ini distigmatisasi oleh masyarakat desa sekitar sebagai sebuah wilayah yang 'ndesit,' 'nggunung,' atau lebih ekstrem termarjinalkan secara ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Marjinalisasi ini di samping efek letak geografis dan topografinya yang berada di perbukitan dikepung kawasan hutan dan akses infrastruktur jalannya yang sulit, juga akibat dari kebijakan alokasi sumber daya pembangunan yang lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan dan tidak berpihak pada dusun.
Dusun tersebut masuk ke pedalaman melalui jalan setapak berukuran lebar sekitar satu setengah meter, dibangun dari batu kali ditata sedemikian rupa. Memang jauh dari jalan raya dan satu-satunya transportasi yang hebat adalah kuda. Sepeda motor trail sebenarnya bisa juga, tetapi akan lebih menyatu dengan alam kalau mengendarai kuda. Ada sekitar sepuluh ojek kuda yang dioperasikan dan dapat disewa untuk menempuh perjalanan ke dusun itu, khususnya bagi tamu yang berasal dari luar daerah dan tidak terbiasa berjalan kaki.
Dusun tersebut sangat subur karena dikelilingi mata air langsung dari sumbernya. Banyak pepohonan besar menjadi sumber memancarnya air tanah yang disebut belik. Air dari belik ini disalurkan ke rumah-rumah warga dengan menggunakan talang bambu, bambu yang dibelah sebagai pengganti selang. Tentu saja air murni yang sangat segar seolah-olah zamzam asli pegunungan dari tanah air yang tiada duanya. Selain itu, terasa sangat dingin seolah-olah memancar dari kulkas raksasa saja.
Sekadar flash back kondisi lima tahun silam. Setelah mengalami penyiksaan berat, kedua tangan dan kaki juragan sepuh itu diikat erat, mulut pun dilakban. Juragan sepuh dan istrinya dipindah ke mobil lain. Namun, mereka tetap memohon dan tahu bahwa Tuhan sedang berkarya. Mereka berdua yakin, jika selama ini selalu berbuat baik kepada siapa pun, pasti Tuhan pun akan berbuat baik pula kepadanya.
Sadrach yang saat itu masih bekerja sama dengan Plolong dan Plenggong, anak buah Geng Genggong Grup, memindahkannya ke mobil lain. Plolong diminta membeli bensin jerigen. Plenggong diminta mencari mobil sewaan lain. Sepeninggal kedua orang itu,Â
Sadrach kemudian memasukkan ke dalam mobil yang hendak diterjunkan ke jurang dua buah orang-orangan dari batang pisang diselimuti kain. Kemudian, dengan cepat meminta sopir sewaan lain mengantar kedua korban yang hendak dieksekusi ini ke rumah salah seorang kenalan yang sudah dihubungi sebelumnya.
Ketika Plolong sampai di tempat, dimintanya segera bertugas menyiramkan bensin, mendorong mobil rusak ke jurang. Beres! Plolong segera kembali ke markas di kota, sementara Plenggong ditinggalkan begitu saja. Sedangkan Sadrach mengatakan masih ada urusan lain sehingga tidak ikut kembali ke kota.
Begitulah cara Sadrach yang kemudian berganti nama menjadi Sabrang dalam misi penyelamatan juragan sepuh yang dihormatinya itu. Sadrach sengaja berpura-pura baik sebagai anak buah G3 karena dia bertekad hendak menyelamatkan dan menyelesaikan kejahatan yang telah lama merongrong kesejahteraan para karyawan di tempatnya bekerja.
Sadrach mulai mencurigai gerak-gerik beberapa orang yang dinilai sebagai penjahat, dengan sekalian melebur masuk ke dalamnya. Bersyukur penyamarannya tidak ditengarai oleh musuh. Dengan intuisi luar biasa dia telah berhasil membawa lari juragan sepuh beserta istri itu sebelum mobil yang ditumpangi didorong ke jurang oleh anak buah G3 yang lain.
"Sayang kalau mobil sebagus ini dibuang dan dikorbankan. Mending kita ganti mobil jelek saja!" dalihnya kepada dua anak buah G3 yang ikut menyertai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H