Apalagi Nu yang juga telah meninggalkan rumah kedua orang tuanya entah ke mana. Masyarakat menduga Nu kembali ke luar Jawa dan makin yakin bahwa rumah peninggalan juragan sepuh tersebut benar-benar angker. Oleh karena itu, tidak seorang pun berani mendatanginya.
Kedua saudara kandung juragan sepuh, yakni Duo De pun terpengaruh atau mungkin ingin meyakinkan masyarakat bahwa saudara tuanya itu telah meninggal. Mereka melakukan selamatan dan mengundang masyarakat, misalnya tiga hari, tujuh hari, empat puluh hari dan seterusnya. Demikianlah, opini masyarakat begitu kuat: juragan sepuh wafat. Kini Nu beserta istri dan kedua anaknya diyakini tidak kuat tinggal di rumah peninggalan itu hingga akhirnya kembali ke luar Jawa. Demikianlah desas-desus yang didengar dan diyakini oleh masyarakat sekitar.
***
Larung Sembonyo adalah budaya sedekah laut yang telah dilakukan secara turun-temurun oleh Nenek moyang dari masyarakat lokal nelayan Prigi terwujud dalam upacara adat. Hal ini merupakan bentuk rasa syukur masyarakat nelayan Prigi akan hasil laut yang telah diperoleh. Upacara ini juga sebagai permohonan akan keselamatan masyarakat nelayan Prigi ketika mencari ikan di laut. Kebiasaan ini telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian kebudayaan masyarakat Kabupaten Trenggalek, terutama yang tinggal di pesisir Pantai Prigi.
Pada saat puncak upacara inilah Ketam sengaja hadir menjumpai De One di rumahnya yang disebut padhepokan. Mengambil istilah dari bahasa Jawa kuno, De One sengaja menghidupkan kembali istilah lama yang disukainya itu.
Rumah itu sederhana, berada di pedalaman lembah perbukitan indah daerah Kecamatan Watulimo, Trenggalek Selatan. Nama dusunnya adalah Ketro.
Dusun Ketro, Desa Dukuh, Watulimo, yang selama ini distigmatisasi oleh masyarakat desa sekitar sebagai sebuah wilayah yang 'ndesit,' 'nggunung,' atau lebih ekstrem termarjinalkan secara ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Marjinalisasi ini di samping efek letak geografis dan topografinya yang berada di perbukitan dikepung kawasan hutan dan akses infrastruktur jalannya yang sulit, juga akibat dari kebijakan alokasi sumber daya pembangunan yang lebih banyak terkonsentrasi di pusat-pusat kekuasaan dan tidak berpihak pada dusun.
Dusun tersebut masuk ke pedalaman melalui jalan setapak berukuran lebar sekitar satu setengah meter, dibangun dari batu kali ditata sedemikian rupa. Memang jauh dari jalan raya dan satu-satunya transportasi yang hebat adalah kuda. Sepeda motor trail sebenarnya bisa juga, tetapi akan lebih menyatu dengan alam kalau mengendarai kuda. Ada sekitar sepuluh ojek kuda yang dioperasikan dan dapat disewa untuk menempuh perjalanan ke dusun itu, khususnya bagi tamu yang berasal dari luar daerah dan tidak terbiasa berjalan kaki.
Dusun tersebut sangat subur karena dikelilingi mata air langsung dari sumbernya. Banyak pepohonan besar menjadi sumber memancarnya air tanah yang disebut belik. Air dari belik ini disalurkan ke rumah-rumah warga dengan menggunakan talang bambu, bambu yang dibelah sebagai pengganti selang. Tentu saja air murni yang sangat segar seolah-olah zamzam asli pegunungan dari tanah air yang tiada duanya. Selain itu, terasa sangat dingin seolah-olah memancar dari kulkas raksasa saja.
Sekadar flash back kondisi lima tahun silam. Setelah mengalami penyiksaan berat, kedua tangan dan kaki juragan sepuh itu diikat erat, mulut pun dilakban. Juragan sepuh dan istrinya dipindah ke mobil lain. Namun, mereka tetap memohon dan tahu bahwa Tuhan sedang berkarya. Mereka berdua yakin, jika selama ini selalu berbuat baik kepada siapa pun, pasti Tuhan pun akan berbuat baik pula kepadanya.
Sadrach yang saat itu masih bekerja sama dengan Plolong dan Plenggong, anak buah Geng Genggong Grup, memindahkannya ke mobil lain. Plolong diminta membeli bensin jerigen. Plenggong diminta mencari mobil sewaan lain. Sepeninggal kedua orang itu,Â