Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Gelang Giok (Part 12)

13 Juli 2024   17:51 Diperbarui: 13 Juli 2024   17:56 11
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Kedua orang tua yang masih tampak sehat itu menerima Nu, istrinya, dan Suyud dengan sukacita luar biasa.

"Tunailah sudah tugas kami menjalankan amanah orang tuamu!" lanjut sang paman. "Kami serahkan kepadamu tugas, kewajiban, dan tanggung jawab kami!"

"Ito, Eda, karena Paman dan Bibi sudah menyerahkan kepengurusan kebun kakao almarhum orang tua saya, dengan ini pula saya memohon bantuan untuk bisa mengelolanya dengan baik. Saya sadar pengetahuan saya tentang perkebunan sangat minim, bahkan tidak ada sama sekali. Jadi, izinkanlah saya memohon bantuannya," pinta Suyud kepada kedua juragan mudanya itu.

"Paman bermimpi sejak beberapa saat silam untuk bisa pulang ke rumah kami. Kalau hari ini kalian datang, artinya Allah mengizinkan mimpi Paman itu menjadi kenyataan. Karena itu dalam beberapa hari ke dapan, setelah menunjukkan kepada kalian tata cara bertani kakao, kami berdua akan pulang ke Blambangan. Hasil kebun selama ada di tangan saya, telah Paman wujudkan dalam bentuk kebun kembali sehingga luas lahan setiap tahun bertambah. Paman tidak meminta apa-apa, tetapi hanya meminta pulang saja. Biarlah ini sebagai hadiah buatmu, Suyud ... karena kakak kandung Paman satu-satunya, yaitu orang tuamu, telah merawat, menyekolahkan, mendidik, dan mengasihi Paman setelah Simbah berdua wafat. Kami yang hanya berdua ini masing-masing telah memperoleh warisan dari Simbah. Rumah dan tanah luas di Blambangan itulah warisan jatah Paman. Rumah dan kebun kakao ini bagian ayahmu, Nak. Ambillah. Paman dan Bibi ikhlas mengelolanya beberapa tahun sebagai sedikit balas jasa kepada orang tuamu ... karena kamu satu-satunya keponakan Paman. Adik sepupumu, sudah memperoleh bagian juga. Jangan khawatir. Rahayu, putri kami satu-satunya, sudah mapan dan tidak akan mengusik kebun kakao bagianmu ini. Yang penting, upayakan kebun ini sebagai warisan dan wasiat hingga menjadi berkah bagi masyarakat sekitar!"

"Ya, Allah ... tak pernah terpikirkan bagi saya, Paman. Ternyata Paman dan Bibi sebaik ini!" Suyud spontan mendatangi Paman yang sedang duduk dan menangis tergugu di pangkuan sang paman.

Bertangisanlah mereka dalam beberapa lama. Nu dan Ayusti terhenyak. Begitu rukun dan ikhlasnya keluarga ini. Jauh berbeda dengan keluarga ayahnya. Potret keluarga sederhana yang sabar dan nrimo ing pandum, menerima apa pun keputusan Allah atas rezeki yang digariskan untuknya dan tidak ada niatan untuk merebut apalagi menguasai harta bagian saudaranya yang lain. Sangat berbeda dengan keluarganya yang haus harta, bahkan hingga haus darah. Tidak segan-segan menyingkirkan hingga membunuh anggota keluarga sendiri hanya demi merebut harta warisan.  

Nu dan Ayusti pun tidak bisa menyembunyikan air mata. Mereka berdua ikut hanyut ke dalam haru yang mengharu biru.

"Kami berdua percaya, dan tolong catat dan ingat baik-baik. Jangan pernah kamu menggeser pathok tanah sesamamu! Jangan pernah menggeser batas tanah sesamamu karena akan membawa ragamu kepada tanah! Artinya begini, kalau kamu tidak puas dengan ukuran tanah yang kamu dapatkan, jangan pernah merebut tanah hak milik orang lain. Tanah yang kamu geser batasnya atau kamu rebut itu akan memanggilmu segera kembali. Pulang  ke tanah alias kematian!" nasihat paman serius.

"Sudah banyak bukti yang Paman dan Bibi saksikan. Mereka tidak berumur panjang, Nak! Karena itu jangan pek pinek duwekke sapepodho, artinya jangan mengambil milik sesamamu. Apa  pun itu: barang, bahkan sampai pasangan hidup. Jangan pernah!" lanjutnya.

Nu dan istrinya sangat bersyukur mendengar wejangan dari Paman Suyud yang sedemikian berkualitas. Hal yang tidak pernah didengar sekalipun dari kedua orang tuanya. Pantas mereka berdua terlihat bugar karena memiliki mindset yang luar biasa. Aura prinsip hidup sabar sederhana itu terpancar nyata ke dalam sorot netranya. Orang lain yang melihatnya merasa adem alias sejuk berhadapan dengan kedua orang tua yang tampak begitu sabar dan tawakal itu.

to be continued 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun