"Entahlah, Mas. Semuanya masil abu-abu. Semoga seiring berjalannya waktu segala sesuatunya makin jelas. Apalagi kita juga tidak boleh sembarangan memprediksi. Sementara, hati saya yakin, kedua orang tua saya itu masih sugeng, sehat dan masih eksis. Hanya, memang untuk sementara waktu beliau tidak mau ...,"
"Iya, benar. Dalam situasi seperti sekarang, kita tidak tahu siapa kawan dan siapa lawan. Yang nomor satu kita harus tetap yakin dan berdoa saja," potong Suyud menentramkan hati juragan mudanya.
"Sepertinya Ibu bisa tertidur, Pak," bisik Suyud sambil mencolek lengan sang majikan.
Nu tersenyum mengangguk, "Iya, semoga bermimpi indah."
"Tuan ... jika Tuhan mengizinkan saya bersumpah, saya akan melakukannya. Saya berada di pihak Njenengan dan keluarga. Itu karena sejak kecil saya ikut juragan sepuh. Saya menganggp keluarga Njenengan adalah keluarga saya juga. Ketika juragan sepuh dikabarkan diculik, saya berusaha mencari tahu, menjadi telik sandi alias spionase kecil-kecilan. Jadi, mohon jangan menaruh curiga terhadap saya. Saya siap 'bela pati'. Ke mana pun Njenengan pergi, izinkanlah saya mengabdi sampi tutup usia saya!" ujar sang sopir serius.
"Oohh, matur nuwun sanget, Mas. Nggih, kami percaya. Itulah sebabnya, Njenengan kami pilih membersamai dan memandu pelarian kami ini!" Â netra Nu berembun dengan suara bergetar.
"Mas Suyud, Mas Adi, dan Ami adalah sedulur sinarawedi kami!" ujar Nu sambil mengelap tirta netra. "Semoga suatu saat yang tepat, Allah mempertemukan kita kembali, amin," lanjutnya.
"Amin. Benar kata Bapak, kita harus ber-positive thinking. Jika kita berpikir bisa, pasti Allah memberikan kemampuan sehingga kita bisa bertemu!" sahut Suyud.
"Ngomong-omong, ini kita istirahat di mana, nggih Pak. Soalnya mesin mobil juga harus diistirahatkan. Badan kita pun jatahnya lima jam sekali harus istirahat!" usul sopir serius.
"Oh, iya. Yo, wes ... bagaimana enaknya saja!"
"Kalau saya boleh usul, sama seperti Mas Adi, kita beristirahat di pos polisi sambil melapor!"