Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Gelang Giok (Part 8)

4 Juli 2024   13:32 Diperbarui: 4 Juli 2024   14:16 67
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Siap Berpetualang (Seri Una dan Uni)

"Uni janji tidak cengeng, Ayah!" peluk si bungsu manja kepada ayah, cinta pertamanya.

Ami dan Adi tanpa bicara dengan mata berembun menyalami kedua majikannya. Mereka berdua mengatupkan kedua telapak tangan di depan dada. Ayusti berbisik pelan di telinga sang ART menitipkan kedua buah hatinya.

"Adi, jika sekiranya mungkin kalian berdua bisa segera menikah. Nanti kami akan membantu seutuhnya," bisik Nu kepada Adi sang sopir kepercayaan yang masih bujangan itu.

Adi kaget, tetapi sangat setuju dengan saran majikannya itu. Sementara, Ami tersipu sambil mengangguk perlahan. Sang juragan sudah paham dengan gelagat mereka berdua sejak pulang ke rumah orang tuanya itu.

"Berangkatlah, doa kami menyertai perjalanan kalian!" dilepaslah mobil pertama dan dengan segera dikuncilah semua pintu rumah tanpa kecuali.

Beberapa menit kemudian, meluncur pulalah mobil yang ditumpangi suami istri dengan Suyud sopir kepercayaan mereka. Segera  disusullah kendaraan yang telah membawa kedua putra putri mereka. Di pagi buta itu ditinggalkanlah rumah besar yang baru sekitar enam atau tujuh bulanan ditinggali bersama keluarga.

***  

Siap Berpetualang: Una dan Uni

Kendaraan meluncur dengan mulus memecah kesunyian pagi itu. Mendung yang menggelantung seolah-olah mengisyaratkan duka yang dialami keluarga muda tersebut menuju daerah pengasingan alias pelarian masing-masing. Kedua bocah yang masih mengantuk, terbuai dalam mimpi di jok belakang sambil memeluk bantal guling yang sengaja dibawa sebagai antisipasi perjalanan panjang mereka. Selimut yang bisa disulap sebagai bantal pun siap membersamai sehingga keduanya menikmati perjalanan dengan nyaman.

Sebelum berangkat, sang juragan mengisyaratkan agar keduanya segera meresmikan hubungan sehingga tidak menimbulkan fitnah. Saran tersebut sangat menyukakan hati sehingga perjalanan panjang ini bagi mereka seolah-olah perjalanan bulan madu. Dengan senyum malu-malu, Ami sesekali melirik sang sopir yang sedang serius menjalankan tugas.

Jika jalan lurus dan di depan dirasa aman, Adi pun menyempatkan menoleh ke arah Ami. Jika kebetulan nanar netranya bersirobok, mereka pun tersenyum sangat manis.

"Mas, kita akan ke mana?" bisik Ami lirih.

"Ssstt, jangan biasakan cerewet tentang rahasia kita, Ami!" jawab Adi dengan suara kecil dan perlahan.

"Kita cukup menikah sederhana saja, ya?" lanjut Adi dengan sesimpul senyum yang dibalas anggukan oleh Ami dengan netra berbinar.

"Mas, kalau aku mengantuk apa boleh tidur?"

"Sebaiknya temani Mas, ya Dik! Makanlah camilan supaya kantukmu sirna. Nanti, Mas akan ajak istirahat di pos kepolisian kalau benar-benar tidak kuat lagi menyetir. Lima jam lagi, ya. Setiap lima jam kita harus beristirahat. Maksudnya mesin mobil harus didinginkan juga. Hanya, kita tidak bisa menginap sembarangan. Karena itu, kita harus menginap di kantor polisi sambil memohon penjagaan dari aparat. Kita harus melapor juga, 'kan masalahnya?"

Ami hanya mengangguk menyetujui apa yang menurut Adi baik. Mereka memang sedang berjuang dan memperjuangkan nasib keturunan majikannya. Sebab dalam hal ini mereka belum mengetahui pasti siapa-siapa yang sedang menjadi musuh bagi majikannya itu.

Ketika perjalanan sudah mencapai lima jam, mereka belum sampai ke Ketapang. Namun, sebagai antisipasi menjaga agar mesin mobil tidak panas, Adi mencari pos polisi yang dapat dijangkau.

Ketika sampai di salah satu kantor polisi, Adi turun dari kendaraan. Segera melapor sesuai arahan Ketam. Dengan cermat petugas pun mencatat data yang diperlukan demi keamanan dan kenyamanan musafir yang sedang mencari keselamatan tersebut.

Tidak banyak yang disampaikan karena segala sesuatu sudah ditangani oleh Ketam sehingga tinggal melapor saja. Setelah melapor, mobil diparkir di tempat paling nyaman. Petugas mengarahkan masuk garasi yang kebetulan tempatnya agak jauh dan cukup sepi sehingga pagi itu mereka bisa beristirahat.

Jendela dibuka sedikit agar terjadi sirkulasi udara. Beristirahatlah barang sejenak agar mesin kendaraan tidak panas dan raga pun tidak lemas. Setelah sekitar satu jam tidur, Adi dan Ami sudah terlihat segar kembali. Una dan Uni pun sudah terbangun.

"Om, lapar. Apa kita bisa membeli makanan?" tanya Una.

"Tentu bisa Sayang, kita akan mencari tahu di mana warung yang menjual makanan lumayan enak, ya!" jawab Ami.

"Bagaimana kalau sementara kalian memanggil kami Papa dan Mama?" usul Adi.

"Boleh," jawab Una setuju.

"Kalau ditanya siapa pun kalian katakan bahwa kami berdua orang tua kalian, ya!"

"Baiklah," Una mengangguk.

"Kita berjuang bersama-sama, ya Sayang. Jangan pernah takut karena Tuhan ada dan selalu menyertai perjalanan kita. Pelarian kita ini pasti tidak dipikirkan oleh mereka. Namun, kita tidak boleh sembrono, harus tetap waspada. Kita harus segera menjauhi mereka," urai Adi.

 "Una dan Uni harus nurut, ya Sayang!" imbuh Ami.

Kedua bocah tersebut hanya mengangguk.

***

"Ma ... kita boleh nggak makan sop?" tanya Seruni.
"Boleh. Yang penting kita tidak boleh terpisah, ya Sayang!"
Uni mengangguk, "Kalau perjalanan masih panjang, mau dibelikan camilan juga, ya! Kami di mobil saja," lanjutnya.
"Baik. Kalian mau pesan apa?" ujar Adi, "Papa catat dulu kebutuhan kita, ya hehe ... supaya sekali membeli dan nanti tidak turun-turun lagi!"
"Ide bagus!" sambut Ami.
Setelah makan, minum, dan ke toilet, mereka segera meninggalkan kota persinggahan tersebut. Masih lima jam lagi. Perjalanan kali ini melewati pantai utara Jawa.   Pemandangan sangat menawan, tetapi tidak menyempatkan berhenti agar segera sampai di tujuan. Diperkirakan perjalanan akan memakan waktu sekitar dua belas atau tiga belas jam. Masih istirahat sekali sehingga akan ada dua kali lagi waktu istirahat.
"Walaupun di tengah pelarian, bolehkah kami bercanda?" celetuk Una.
"Bisa, Nak. Bisa. Biasa sajalah. Hanya kita memang harus membatasi diri dengan orang lain, orang asing. Kalau kita bercanda, ya tidak masalah. Kan kita juga perlu tertawa supaya tidak tegang dan stress!" sambut Adi.
"Yang tidak boleh itu ... antara lain menceritakan kalau kita ini sebenarnya .... Nah, membuka rahasia kisah kita yang asli. Itu yang tidak boleh, Sayang!" imbuh Ami.
"Iya, ya!" Una pun manggut-manggut sambil tersenyum.
"Pokoknya tidak boleh membongkar rahasia. Gitu, ya?" celetuk Uni.
"Cerdas, Cantik!" sambung Adi spontan.
"Una usia sebelas tahun dan Uni sembilan tahun. Kalian sangat luar biasa!" sergah Ami dengan netra berbinar-binar sambil menoleh ke jok belakang tempat kedua bocah itu berada.
"Usia segitu kita dulu bisa apa, ya Dik? Hehehe ...," lanjut Adi.
"Hehehe ... kita kan generasi tulalit, Mas!" sambil menutup mulutnya agar tidak tertawa lebar.
"Usiaku sekarang tiga puluh satu, Dik Ami berapa?"
"Aku tiga puluh, Mas. Jadi, sebohong-bohongnya kita 'kan pantas ya memiliki putra-putri seusia Una dan Uni?"
 "Ya, bener! Eh, sebentar lagi kita akan sampai Ketapang, ya! Kita akan menyeberang menggunakan ferry. Biar tidak mabuk, sebenarnya kita bisa turun dari kendaraan, tetapi bagaimana menurut kalian?"
"Tidak. Jangan cari perkara. Kita tetap di dalam kendaraan saja!" ujar Ami.
"Una dan Uni tidak ingin keluar untuk melihat pemandangan laut?" selidik Adi.
"Mana baiknya sajalah, Mas!" lanjut Ami, "Jangan juga terlalu kelihatan kalau kita ini ketakutan. Kita yakin saja bahwa penjahat tidak mengikuti kita. Apa yang kita percayai itulah yang akan terjadi!" sambung Ami.
"Oh, iya ... ya. Kita harus selalu positive thingking sih, ya! Jadi, bagaimana kalau kita anggap perjalanan ini sebagai perjalanan wisata saja? Toh, kita sudah makin jauh dengan mereka. Barangkali mereka juga tidak atau belum tahu kalau kita sudah pergi jauh!" urai Adi dengan berapi-api.
"Hmm ... baiknya memang begitu, biar kita nggak kaku dan takut melulu!" sambung Una.
"Cerdas! Mari kita nikmati dengan ceria, tetapi tetap waspada!" seru Ami.
"Kita nanti sekolahnya bagaimana, Pa?" tanya Una.
"Iya, kalau sudah sampai di tempat, akan kucarikan guru privat. Sementara mungkin home schooling sambil melihat-lihat situasi!"
"Baiklah. Kalau Adik Uni sih masih kelas tiga. Lah, Una kan kelas lima. Tahun depan kelas enam, dan seterusnya ...," senandika Una dengan netra menerawang.
"Iya, heiii ... tetap semangat dan positive thingking, kan?"
"Oh, iya ya ... hehehe!"  
"Nah, ini sebentar lagi kita sampai tepi pantai. Enaknya begini ... kita membeli nasi hangat dan lauknya, lalu kita sarapan di pinggir pantai. Boleh, nggak? Setuju, nggak?" tanya Adi.
"Wahh, ... boleh!" teriak kedua bocah itu.
"Tetapi ... ada tetapinya nih, ya! Kita nggak boleh jauh-jauhan. Cukup melihat dari kejauhan saja ya ... karena tujuan kita masih sangat jauh. Bagaimana?"
"Iya, boleh. Sambil beristirahat!"
"Benar. Biar mesin mobil juga dingin!" ujar Adi.
"Yessss!" seru Una sambil mengangkat tangan tangan mengepal dan menurunkannya cepat.
Akhirnya diperolehlah menu nasi hangat dan beberapa lauk di restoran padang yang ada di sepanjang jalan. Apa pun jenis makanannya yang penting dilengkapi jus buah. Itu sudah sangat istimewa.
"Seandainya kita sedang pesiar, suasananya pasti beda,  ya. Ada Ayah, Ibu, dan lengkap pokoknya!" sebut Uni tiba-tiba.
"Suatu saat kita pasti akan berpesiar dengan Ayah dan Ibu, Dik. Sekarang kita sedang menghadapi masa sulit!" jawab Teruna berdiplomatis.
"Iya, yang sabar. Ibarat petani, pasti ada saat menuai. Sekarang sedang tahap mencangkul. Selain lelah juga harus penuh pengorbanan diiringi keikhlasan!" sambut Adi.
"Baiklah. Uni janji tidak akan cengeng lagi!" serunya tersenyum.
"Nah, gitu dong! Kita harus saling menguatkan!" lanjut Adi.
"Emmmh ... keripiknya ini enak banget. Belum pernah Uni merasakan sebelumnya!" seru Uni sambil menunjukkan keripik paru.
"Oh, itu namanya keripik paru, Sayang! Seandainya menggoreng sendiri malah lebih gurih. Fresh!" jawab Ami.
"Nanti ... kita makan siangnya di kota mana?" tanya Una.
"Mungkin kalau sekitar lima jam lagi ya ... semoga masih di pesisir pantai lagi. Kita akan lewat Pasir Putih juga, sih. Kalau sekalian mau wisata pantai ... ya boleh-boleh saja, tetapi tidak naik perahu, loh ya? Bagaimana?"
"Kenapa nggak boleh naik perahu, Papa?"
"Karena kita akan menyeberangi Selat Bali. Papa berharap tidak pada saat malam hari. Setidaknya ketika masih sore. Nah, kalau kita kelamaan berhenti sebelum sampai pantai, bisa jadi penyeberangan akan terjadi di malam hari. Bagaimana? Atau, kita bisa menginap di Banyuwangi dulu sambil mengumpulkan tenaga, terutama Papa yang sedang menyopir ini. Jadi, kita bisa menyeberang besok pagi."
"Ya, sudah bagaimana baiknya saja," jawab Ami.
"Menurutku sih kalau menyeberang malam hari itu ... nggak asyik. Kita hanya melihat kelap-kelip lampu dari kejauhan, sementara lautan akan terlihat gelap dan hitam. Tidak ada yang bisa kita lihat sama sekali!"
"Wah, ya rugi kalau begitu. Kan setidaknya kita sambil refreshing!"  
"Ya, benar. Apalagi, kalau di laut malam hari ... terus terjadi apa-apa ... lebih bahaya. Kalau siang hari saat menyeberang, pasti lebih baik! Di samping bisa melihat pemandangan, kalau terjadi sesuatu relatif masih lebih baiklah!" lanjut Adi.
"Iya, semoga perjalanan kita dilindungi oleh Tuhan Yang Maha Esa, amin." Ami menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada.
"Iya ... kalau Papa lelah, sebaiknya kita istirahat karena tidak ada yang menggantikan. Kita istirahat dan perjalanan dilanjutkan besok saja! Yang penting kita selamat," jawab Una.
"Ya, ampuuunn Una! Kamu bijak banget sih, Nak!" sambut Ami.
"Iya, Ma. Itu kata-kata Ayah yang sering kami dengan saat dalam perjalanan!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun