Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Diary

Sebagaimana Kemasan

3 Juli 2024   10:29 Diperbarui: 3 Juli 2024   10:47 58
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik


Sebagaimana Kemasan

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu



Sekitar setahun tidak bertemu ternyata yang terjadi sangat luar biasa.  Ada kudengar berita bahwa dia sakit, katanya gagal ginjal. Akan tetapi, karena kondisi ternyata aku tidak bisa mengunjungi. Keterlaluan, kan? Padahal, mantan istrinya sepupu suami. Namun, karena ada masalah keluarga, aku  yang memang tidak suka ikut campur merasa lebih baik diam dan menjauhkan diri saja.

Suatu saat kulihat sebuah status salah seorang teman di  facebook, saudara  perempuan  salah seorang ipar sepupu suamiku. Berita duka. Oleh karena itu, aku dan suami menyempatkan diri menghadiri ibadah tutup peti. Ibadah diselenggarakan di sebuah yayasan yang menangani perihal kematian.

Tatkala tiba saat pemberian penghormatan terakhir melihat jenazah di dalam peti sebelum penutupan, aku sangat kaget. Terhenyak. Almarhum adalah sosok yang tampan dan gagah di masa  mudanya. Namun, kondisi berbalik seratus delapan puluh derajat! Semua kegagahan dan ketampanan itu hilang sirna sehingga yang kulihat sangat jauh berbeda. Kaget sekaligus pangling. Bukan hanya dari segi wajah, melainkan dari keseluruhan tampilan raga. Tinggal kulit pembalut tulang!

"Oh, my God!" 
keluhku dalam hati sambil menahan tangis.

Bukan bermaksud menghina, bukan! Melainkan hendak berkaca dari sana. Justru aku mengambil pelajaran sangat berharga dari sana. Benar kata para orang tua kita! Kondisi tubuh yang semasa hidup luar biasa indah, bagus, kekar, gagah bisa saja dalam sekejap berubah drastis. Maka, apa yang bisa disombongkan manusia yang sebenarnya hanya setitik debu ini?

Sampai di sini, terasa tertampar muka ini, sementara hati pun lebih dari teriris sembilu.

"Ini lumayan masih ada jasad yang diwadahi peti!" bisik salah seorang teman yang duduk di sebelahku.

Aku mengangguk. Tetiba kuingat pula peristiwa tragis yang menimpa saudara jauhku. Lebih kurang tiga puluhan tahun silam. Saudara perempuanku itu sebulan yang akan datang hendak menikah. Persiapan di desa sudah dilaksanakan oleh kedua orang tua karena dia putra kedua, sekaligus putri pertama. Mantu pertama yang dipersiapkan sedemikian rupa. Namun, apa yang terjadi?

"Calon pengantin perempuan tersebut terbunuh. Korban mutilasi, jasadnya tidak ditemukan dan tak bisa ditunjukkan kepada keluarga. Almarhumah hanya meninggalkan nama sehingga membuat sang bunda mengalami depresi!" jelasku sambil menyeka air mata.

"Ya, Allah! Kasihan benar. Bukan hanya korban melainkan juga segenap keluarganya!" respons teman duduk di sebelahku.

Dari peristiwa ini, aku sangat menyadari bahwa model dan cara kematian pun seratus persen menjadi otoritas Allah semata. Tidak dapat kita menentukan harus bagaimana kelak cara kita meninggal. Semua terserah pada  kehendak Tuhan saja.

Aku juga teringat lagi akan kisah salah seorang teman lain. Ketika masih bersama, beliau selalu bilang, "Suatu saat kelak, jika  dipanggil Tuhan, aku berharap tidak merepotkan keluarga."

Ternyata, doanya benar-benar dikabulkan Tuhan. Beberapa saat sebelum menghadap Allah, beliau masih sempat menyopiri teman-teman lain dari Malang menuju Mojokerto pergi pulang dengan tujuan beribadah. Karena penumpang sekitar enam orang, beliau tidak menggunakan kendaraan sendiri, tetapi menggunakan kendaraan teman yang lebih besar hingga muat semua penumpang.

Konon dalam perjalanan beliau yang memang pendiam sama sekali tidak bertegur sapa. Diam, tetapi menyopir dengan sangat konsentrasi. Perjalanan  lumayan lancar. Bahkan, cukup ngebut sehingga sampai di Malang kembali menjelang petang.
Sementara kendaraan pribadi miliknya dititip parkir di rumah teman lain. Kendaraan tersebut masih stand by di depan rumah.

Setelah sampai di rumah teman sebagai pos terakhir, seperti biasa beliau hendak pulang menuju rumah, berganti kendaraan pribadi. Namun, sebelum membuka pintu mobil, beliau terjatuh. Ketika hendak dibawa ke rumah sakit, ternyata Tuhan sudah memanggilnya. Secara medis, beliau terkena serangan jantung. Nah, apa yang beliau doakan, benar-benar dikabulkan-Nya. Tidak merepotkan keluarga.

Aku teringat kembali kisah pemanggilan teman segrup di sebuah paduan suara gerej dengan kasus hampir sama. Teman wanitaku ini terkenal sebagai bos yang sangat baik dan teman yang begitu dermawan. Pernah aku dan beberapa teman dibelikan sepatu seragam dalam rangka ikut paduan suara di luar kota. Saking baiknya, meski dari etnis lain, kami seperti saudara kandung. Bahkan, sampai saat ini pun, salah seorang putranya masih intens berkomunikasi denganku.

Tuhan memanggil sahabatku itu ketika mengantarkan mamanya pergi ke salon. Setelah sang mama masuk ke salon, sahabat wanitaku hendak masuk ke mobil kembali. Namun, rupanya ia terjatuh di dekat pintu kendaraan karena hipertensi.

Kebetulan tempat tersebut sepi sehingga pertolongan kepadanya sangat terlambat. Sesampai di rumah sakit sebenarnya sudah dinyatakan meninggal. Namun, karena putra dan putrinya berada di luar negeri, dipasanglah alat medis guna memperpanjang masa hidupnya.

Ada juga seorang jemaat gereja yang mengikuti ibadah, tetiba terjatuh dan ternyata nyawanya tidak tertolong. Belum lagi pemanggilan dengan cara laka lantas, khususnya pesawat udara, kapal laut, atau hal lain yang mengakibatkan jasad korban tidak bisa ditemukan. Semua menjadi otoritas Allah semata.

Dari beberapa pengalaman tersebut, kusimpulkan bahwa banyak cara Tuhan memanggil umat-Nya. Kalau saat-Nya telah tiba, kapan pun, di mana pun, dalam kondisi apa pun kita tidak bisa mengelak dan menolaknya. Oleh karena itu, saat takziah, mengikuti ibadah tutup peti, atau penghiburan kepada keluarga yang ditinggalkan pulang ke surga, menjadi sarana berintrospeksi diri. Sudahkah kita bersiap menghadapi saat pemanggilan itu?

Memang, kita diperkenan memohon kepada-Nya untuk diberi cara pulang ke keabadian sesuai kemauan kita, tetapi semua kembali kepada kehendak-Nya. Selalu mengingat bahwa di dunia ini tidak ada hal yang abadi adalah resep terbaik. Tidak perlu pongah dan tinggi hati tatkala raga masih segar bugar, rupawan, sehat, dan gagah perkasa sebab bisa jadi dalam sekejap semua akan berubah.

Tubuh bisa diibaratkan sebagai wadah kemasan belaka. Bisa saja retak, sobek, penyok, bocor, bahkan pecah, hancur, atau dalam kondisi kurang yang lain. Apa yang bisa disombongkan? Hanya tampilan luar saja sehingga tak layak kita sombongkan. Di sisi lain, tak layak pula kita menghakimi orang yang memiliki keterbatasan, baik secara fisik maupun psikis karena mungkin saja justru mereka lebih baik daripada kita. Benar petuah orang bijak, don't just  book by cover!

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun