Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Transfer Kasih Sayang

27 Juni 2024   09:54 Diperbarui: 27 Juni 2024   10:12 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Transfer Kasih Sayang
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Dik, maaf, Mbak nggak bisa transfer kamu bulan ini karena harus menebus obat-obatan yang lumayan. Maafkan Mbak, ya, Dik."
Ini draft pesan yang akan kukirim buat adikku yang bersekolah di luar kota. Sejak masa pandemi tahun ini, dia pun tidak pernah bisa pulang ke rumah lagi.

Kubaca ulang, sambil kuamati apakah kira-kira pesan WhatsApp ini akan membuatnya kecewa. Sebelum kukirim, masih kusunting berkali-kali, jangan sampai ada kata yang menyinggung perasaannya. Aku pun berdoa agar seterima pesan ini, adikku tetap bersemangat belajar. Aamiin.

Sejak lulus SMP dua tahun lalu, satu-satunya saudaraku ini terpaksa harus ikut Paman di kota lain. Diharapkan dengan menumpang di rumah Paman dan Bibi, sambil bersekolah, adikku bisa ikut membantu mengais rezeki. Membantu usaha Paman yang makin lumayan katanya.

Ya, adikku, Mirna, masih bersekolah duduk di kelas dua, di  salah satu SMA di kota pamanku tinggal. Karena  ekonomi kami kurang mendukung, Paman meminta adikku ikut mereka sebab memiliki bisnis kuliner sedang berkembang. Paman dan Bibi akan memberikan gaji atau uang saku bulanan.  

Setidaknya, sepulang sekolah Mirna masih bisa membantu Paman dan Bibi di kedai sehingga mereka tidak memerlukan banyak tenaga kerja. Justru mereka berkeinginan untuk memanfaatkan tenaga yang berasal dari anggota keluarga sendiri.

Bisnis Paman berjualan aneka kuliner katanya lumayan menjanjikan. Jika Mirna berminat, siapa tahu kelak juga bisa mengelola cabang baru. Itu harapan Paman dan Bibi. Apalagi, Mirna juga jago memasak.

Kami juga berharap Mirna bisa menyisihkan uang lelahnya dari Paman dan Bibi agar bisa ditabung. Siapa tahu nilai akademiknya menunjang hingga bisa untuk membiayai kuliah di perguruan tinggi.

Paman dan Bibi hanya memiliki satu anak perempuan. Jadi, dengan adanya Mirna tinggal bersama mereka, lumayanlah ada teman untuk anaknya yang selisih dua tahunan di bawah adikku.

Pagi hingga siang hari Mirna bersekolah, lanjut pulang sekolah membantu menjadi pramusaji. Apalagi,  Mirna berwajah manis, ramah, santun, dan luwes pula. Harapannya bisa membuat suasana adem di kedai. Bukan rahasia lagi 'kan, jika ada setangkai kembang, kumbang pun bakal datang bertandang?

Aku dan adikku terpaut sekitar lima tahun. Kami berdua sejak kecil terlatih hidup sederhana karena Bapak hanya sebagai sopir angkot dan Ibu pedagang kecil yang membuka lapak di depan rumah. Ibu berjualan sayur-mayur dan kebutuhan dapur para tetangga. Sementara , selepas dari SMA empat tahun lalu, aku bekerja ikut orang menjaga tokonya.

Beruntung toko juraganku itu rumah belanja yang cukup besar. Sebelum ada Alfamart dan Indomart, toko itu sudah ada dan lumayan ramai pelanggannya. Ada tujuh karyawan lagi selain aku. Namun, jujur saja, gajiku sebenarnya hanya cukup untuk biaya keperluanku setiap bulan. Meski demikian, aku masih menyisihkan sedikit untuk adikku itu.

Akhir-akhir ini Bapak sakit-sakitan. Bapak sudah tidak bisa melaksanakan tugasnya sebagai sopir angkot lagi. Apalagi, musim pandemi sekarang tidak banyak penumpang yang bepergian, sehingga praktis kalaupun bekerja, hasilnya tidak seberapa. Kita juga tahu bahwa sejak dua tahun terakhir, ketika ojek online beroperasi, penumpang angkot pun banyak yang  hijrah menjadi penumpang dan pelanggan ojek online. Maka sejak saat itu, rezeki Bapak makin berkurang.

Ketika pandemi melanda, aku sudah meminta agar Bapak tidak mengambil pekerjaan sebagai sopir angkot setoran lagi. Kuminta Bapak melepas pekerjaannya itu dan menemani Ibu untuk berjualan saja di depan rumah. Urusan ke pasar, akulah yang akan menemani Ibu dengan menggunakan sepeda motor cicilan, membeli dagangan ke pasar besar ketika subuh tiba.

Suara denting terdengar, tanda pesanku terkirim.

Beberapa menit kemudian dijawabnya, "Iya, Mbak. Mulai sekarang, Mbak nggak usah repot transfer Mirna lagi. Mirna tahu, Mbak juga butuh untuk keperluan Mbak Marni sendiri. Jangan khawatir, Mirna dapat uang lelah, kok. Uang tersebut Mirna tabung, Mbak! Tetapi, maafkan Mirna yang belum bisa membantu Mbak juga!"  diakhiri emotikon love.

Lega rasanya. Bukan karena aku terbebas dari tanggungan untuk transfer kepadanya, melainkan karena adikku bisa memahami kondisiku saat ini. Ya, boleh dibilang kondisi kami makin terpuruk. Akan  tetapi, kami percaya, Tuhan tidak akan menegakan dan meninggalkan kami. Pasti ada jalan keluar pada setiap perkara yang diizinkan-Nya kita alami.

Masih kuingat saat-saat adikku mengikuti ujian SMP-nya. Saat itu, aku sudah bekerja, kulihat mata adikku sembab.

"Kenapa ini, adikku Mirna yang cantik? Lihatlah matamu sembab. Ada apa, Dik?" tanyaku merajuk.

Mirna cuma menggeleng pelan. "Nggak, Mbak! Nggak apa-apa!"

Namun, kulihat duka menggelayut di matanya.

"Ayolah, bilang sama Mbak Marni! Kamu tidak akan mampu memikirkannya sendiri, 'kan?"  usulku sambil mengelus pundaknya.

"Anu, Mbak!"  

Langsung saja aku memotong ucapannya, "Bilang saja, jangan segan. Semakin cepat cerita, semakin cepat teratasi permasalahanmu, Dik!"

"Mirna harus membayar uang ujian praktik tata boga!" lirihnya.

"Oh ... berapa? Mbak akan bantu, Dik! Nah, tersenyumlah, jangan kuatir!"

Lalu, adikku menyebutkan sejumlah uang. Kukatakan bahwa uangnya ada, tetapi harus menunggu sepulangku bekerja. Mata adikku berbinar. Dipeluknya pinggangku dengan mesra dan kubalas dengan mengelus rambutnya.

"Yang penting, Adik harus berupaya agar lulus dengan baik. Mbak senang jika nilaimu tidak mengecewakan!"

Mirna hanya mengangguk. Sejak saat itu, kusisihkan secara khusus sebagian dari gajiku agar adikku bisa mencukupi keperluan sekolahnya. Beruntung, nilainya lumayan bagus dan sebenarnya bisa masuk sekolah favorit. Namun, karena kondisi ekonomi keluarga kami tidak memungkinkan, kami harus berpikir dua kali untuk memasukkannya bersekolah di SMA.

Kini, ternyata adikku sudah bisa menyisihkan uang lelahnya sendiri dan tidak memerlukan bantuanku. Ini sungguh luar biasa. Mirna, adikku, sudah mulai mandiri. Semoga ke depan dia semakin memahami bahwa hidup itu harus berjuang. Ya, berjuang sejak remaja, agar kelak terbiasa dengan perjuangan itu sendiri. Bukankah kesempatan sukses harus dihadapi dengan perjuangan? Bukankah tantangan pun harus dihadapi dengan perjuangan?

Kami, yang sedari kecil sudah diajari beriman tetap mengimani dua hal ini. Yang pertama bahwa, "Harapan kita itu seperti jangkar yang tertanam sangat dalam dan merupakan pegangan yang kuat dan aman bagi hidup kita. Harapan itu menembus gorden Ruang Mahasuci di Rumah Tuhan di surga".

Selanjutnya yang kedua, kita harus memperjuangkannya sebab ada tertulis begini, "Itulah sebabnya kita berjuang dan bekerja keras, sebab kita berharap sepenuhnya kepada Allah yang hidup; Ialah Penyelamat semua orang, terutama sekali orang-orang yang percaya!"

Nah, maka kita harus tetap berharap masa depan akan lebih baik dengan bekerja keras mengupayakannya. Covid boleh melanda, tetapi harapan akan perbaikan nasib, tak akan pernah sirna. Ya, kita harus yakin, harapan masih ada. Hari esok akan lebih baik lagi. Asal kita percaya dan mempercayakan hidup kita, pasti Allah yang Maha Perkasa berkenan menolong kita, membantu kita untuk memperbaiki nasib.

Malang, Desember 2020

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun