Remah Tercecer
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Kemarin tiba-tiba kutemukan jejak facebook lamaku yang tidak bisa kubuka lagi sejak tahun 2012 lampau. Beruntung aku masih bisa menyalin beberapa tulisanku. Ada beberapa yang ingin kuunggah ulang betapa kita harus peduli terhadap lingkungan dan sesama kita.
Saat berangkat bekerja di pagi hari, biasanya sekitar setengah enam pagi, di perjalanan kulihat seorang kakek yang menuntun sepeda bututnya. Dia membawa dagangan entah apa karena aku hanya melihatnya sepintas sambil mengendarai sendiri Starlet kesayanganku.Â
Secara fisik seharusnya kakek ini beristirahat saja di rumah karena sudah begitu sepuhnya. Rambut, kerut kulit, dan wajahnya menunjukkan bahwa semestinya dia layak beristirahat dari aktivitas fisik berat. Harusnya tinggal menikmati masa tua sambil melihat anak cucu bersenda tawa. Namun masih saja dia bekerja mengais rezeki demi sesuap nasi. Aku mendesah. Karena kondisiku yang dikejar waktu, aku hanya mampu memanjatkan doa kiranya Tuhan melimpahkan kasih-Nya berlimpah ruah kepadanya. Melihat betapa setua itu beliau masih bekerja, aku pun jadi kian bersemangat.
Sehari setelahnya saat melintas di Jalan Majapahit di seputaran balai kota, aku juga melihat rombongan ibu-ibu yang (maaf) rupanya berasal dari pedesaan. Mereka berkostum sebagai peminta-minta dengan ciri khas tertentu. Baju usang nan lusuh, berkerudung, bertopi, berselendang, dengan atau tanpa membawa suatu wadah sebagai tempat yang siap akan disodorkannya kepada orang yang dijumpainya.
Mereka tampaknya berusia sekitar enam puluhan, masih segar dan sehat, berjalan cepat-cepat sambil tertawa-tawa. Di suatu sudut balai kota mereka berpencar, ada yang ke arah barat, ada yang menuju lurus ke selatan, dan ada juga yang menuju arah utara. Entah mereka mau ke mana, tetapi tampak sangat bersukacita dan ceria.
Ohh, ... baru kuingat bahwa hari itu adalah hari Jumat. Mungkin mereka hendak menuju ke arah masjid. Yang di sebelah selatan tentu saja masjid besar di seberang Sarinah, yang menuju arah barat ke arah masjid dekat Kodim, sedangkan yang ke utara ada masjid di lingkungan kompleks pertigaan jalan Pejajaran.
Mungkin mereka hendak mengais rezeki, menunggu receh yang diluruhkan dari kantong para jemaat yang hendak melaksanakan ibadah Jumat. Aku berharap dan berdoa kiranya Tuhan Yang Mahakasih juga memberikan rezeki kepada mereka.
Meskipun ada sedikit ketakutanku mengenai artikel adanya seorang bos yang sengaja merekrut mereka untuk menjadikannya anak buah dengan memberikan setoran dari hasil meminta-mintanya itu. Konon kabarnya bos tersebut kaya raya karena dengan pekerjaan mudahnya merekrut, mengedrop, dan menjemput anak buah itu menjadikannya bernilai penghasilan fantastis. Entahlah ....
Hari yang kesekian tiba-tiba kudengar lagu dolanan berjudul Jaranan. Mendengar lagu tersebut aku teringat kemarin saat membeli burjo bubur kacang ijo kesukaan di Kayungyun Jalan Sulfat.
Ada seorang gadis berusia SD dan (mungkin) ayahnya yang membawa tape recorder tenteng.
Keduanya berkostum  penari  "jaran kepang".  Sang  ayah berkaos oblong strip-strip doreng merah putih, outer hitam tanpa dikancingkan, celana gombrong hitam, sebuah selendang dililitkan menutup pantat dan pinggang yang kemudian ditutupnya dengan ikat pinggang hitam lebar,  dilengkapi dengan pemakaian udeng di kepala, dan tentu saja dengan riasan menor ala penari.
Gadisnya pun demikian. Mengenakan celana komprang hitam selutut, kaos lorek merah putih senada dengan kaos sang ayah, selendang yang dililitkan di pinggang, juga ada dikenakan udeng di kepalanya menghiasi rambut panjangnya yang tergerai acak. Dilengkapi riasan agak menor dengan pipi kemerahan.Â
Dipegangnya dengan tangan kiri sebuah miniatur jaran kepang yang diselipkan di antara dua paha  dan dengan tali diselempangkan ke pundaknya. Dilengkapi pula sebuah cambuk disisipkan pada ikat pinggang hitam besar yang dikenakan. Mereka menari ala kadarnya, tepatnya menggoyang badan seiring irama musik, kemudian menyorongkan bekas gelas aqua untuk dana amal atas honor ngamennya..
Iba? Jelas, Â iya .... Apalagi dengan 'mimik ndeso' banget begitu.
Bersyukur sebagai anak desa aku bisa mengubah nasib karena memiliki skill penghasil cuan. Mohon maaf: hanya sekadar perbandingan saja, bukan bermaksud penghinaan. Karena itu, penekanan pada hal ini: 'jangan sampai kita tidak memiliki skill tertentu untuk menyongsong masa depan.'
Membaca tulisanku di atas, apa yang terpikir oleh Anda? Mari merenung sejenak. Adakah kita telah bersyukur kepada-Nya hari ini atas pemeliharaan-Nya terhadap hidup dan kehidupan kita? Adakah kita telah (paling tidak) mendoakan sesama?
Semoga menginspirasi, amin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H