Ada seorang gadis berusia SD dan (mungkin) ayahnya yang membawa tape recorder tenteng.
Keduanya berkostum  penari  "jaran kepang".  Sang  ayah berkaos oblong strip-strip doreng merah putih, outer hitam tanpa dikancingkan, celana gombrong hitam, sebuah selendang dililitkan menutup pantat dan pinggang yang kemudian ditutupnya dengan ikat pinggang hitam lebar,  dilengkapi dengan pemakaian udeng di kepala, dan tentu saja dengan riasan menor ala penari.
Gadisnya pun demikian. Mengenakan celana komprang hitam selutut, kaos lorek merah putih senada dengan kaos sang ayah, selendang yang dililitkan di pinggang, juga ada dikenakan udeng di kepalanya menghiasi rambut panjangnya yang tergerai acak. Dilengkapi riasan agak menor dengan pipi kemerahan.Â
Dipegangnya dengan tangan kiri sebuah miniatur jaran kepang yang diselipkan di antara dua paha  dan dengan tali diselempangkan ke pundaknya. Dilengkapi pula sebuah cambuk disisipkan pada ikat pinggang hitam besar yang dikenakan. Mereka menari ala kadarnya, tepatnya menggoyang badan seiring irama musik, kemudian menyorongkan bekas gelas aqua untuk dana amal atas honor ngamennya..
Iba? Jelas, Â iya .... Apalagi dengan 'mimik ndeso' banget begitu.
Bersyukur sebagai anak desa aku bisa mengubah nasib karena memiliki skill penghasil cuan. Mohon maaf: hanya sekadar perbandingan saja, bukan bermaksud penghinaan. Karena itu, penekanan pada hal ini: 'jangan sampai kita tidak memiliki skill tertentu untuk menyongsong masa depan.'
Membaca tulisanku di atas, apa yang terpikir oleh Anda? Mari merenung sejenak. Adakah kita telah bersyukur kepada-Nya hari ini atas pemeliharaan-Nya terhadap hidup dan kehidupan kita? Adakah kita telah (paling tidak) mendoakan sesama?
Semoga menginspirasi, amin.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H