"Hai ... selamat pagi, Barbie!" sapa Steve dengan senyum hangat merekah.
Masih setengah gugup kujawab sapaan itu dengan lembut, "Hai ... bagaimana istirahat malammu?"
"Eh ... ini temanku ... dua ... ayo berkenalanlah situ ... sendiri," ajak Steve kepada dua orang teman di sebelahnya.
Melihat tampilanku, kedua teman Steve menggeleng-geleng lucu. Entahlah apa yang ada di pikiran keduanya. Aku cuek saja, sih ... walau sempat gedikit grogi. Semoga saja kebaikan yang ada di dalam otak dan benak mereka.Â
Arnold dan Ronald pun menyebut nama masing-masing dan memperkenalkan diri dengan singkat. Setelah berkenalan kami segera berjalan-jalan mengitari area penginapan.
Jalan di depan pos berbelok ke kiri, berliku menurun ... hingga tiba di perumahan unik ... rumah kayu dan rumah joglo. Sengaja disediakan vila berbagai ukuran dengan model rumah kuno, rumah kayu untuk memuaskan pelancong yang datang menginap di situ.Â
Inilah rupanya keunikan yang sedang dijual oleh pemilik penginapan: nuansa desa secara totalitas. Bahkan, di sana-sini ada pajangan benda-benda khas pedesaan, seperti gerobak zaman dulu (cikar dan dokar). Keduanya sengaja dipajang di sudut-sudut area dengan strategis. Dengan demikian, pengunjung bisa melihat-lihat moda transportasi tanpa mesin zaman baheula itu secara gratis.Â
Agak ke bawah ada kolam renang lagi, tetapi tidak satu pun di antara kami yang ingin berenang. Ada juga jalan setapak menuju area persawahan lengkap dengan dangau dan orang-orangan, barangkali ada yang ingin berfoto di sana. Kami bertiga hanya berjalan menyusuri jalanan berkelok naik turun sambil sesekali berhenti memperhatikan jenis pohon atau bunga yang terlihat unik, antik, Â dan indah.
Jalanan licin karena hujan semalam, tetapi pagi ini matahari mulai menyembul di antara pepohonan tinggi di sekitar kami. Rupanya sedang mulai musim laron. Ratusan laron beterbangan mengganggu perjalanan kami. Mereka bisa saja hinggap di rambut, bahkan menabrak mulut kami.
Aku menceritakan bahwa saat masih kecil, ketika berada di rumah kakek nenek di desa, kami menggoreng laron tersebut sebagai lauk teman nasi. Mereka bertiga terheran-heran mendengar ceritaku dan menanyakan rasanya. Kukatakan digoreng tanpa minyak di wajan tanah liat sehingga berasa gurih sekali. Bukan hanya laron yang kami goreng, melainkan juga ulat turi dan kepompong ulat api.Â
Itulah sumber protein hewani pada masa kanak-kanak kami.