Cincin Cenderamata
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Hari menjelang senja. Suasana redup karena mendung menutupi dirgantara. Terdengar suara azan dari beberapa musala dekat rumah bersahut-sahutan pertanda malam telkah berada di ambang pintu.
Tak ada seekor pun kukila yang kulihat melintas di angkasa. Langit kelabu tampak bersih semata. Entah ke mana hewan bersayap itu berada. Mungkin sudah menikmati istirahatnya di sarang masing-masing.
Aku mengajak si cantik Oyen untuk masuk kamar. Sengaja hendak kuajak rehat karena lelah seharian beraktivitas. Namun, si Oyen rupanya masih hendak menikmati suasana senja di luar rumah. Memberontak ingin keluar dari kamar saja.
Ya, sudahlah. Biarlah kunikmati istirahat senjaku sendirian saja. Biarlah Oyen menikmati kebersamaan dengan ayahnya, si Kumoru dan kucing betina warna kusam yang biasa bertandang meminta jatah makanan sisa. Maka, setelah membukakan pintu agar Oyen keluar dari rumah, aku pun kembali menikmati kesendirian di kamar pribadi.
Tetiba pandanganku tertuju ke sebuah foto kebersamaan suami dengan koleganya yang terpajang cukup besar. Entah foto itu dibuat tahun berapa. Namun, tak kusengaja, aku pun teringat akan seseorang. Seseorang yang justru berada di luar foto itu!
Sosok kebapakan ini sangat tampan di usia tuanya. Rautnya sangat handsome menurut pandanganku. Perilakunya pun sangat santun dan kalem. Beliau adalah teman guru senior di sekolah pertama pengabdianku sebagai karyawati. Ya, aku diterima di sekolah itu sejak lulus kuliah hingga empat belas tahun kemudian.
Aku lupa entah tahun berapa. Seingatku kisaran tahun 1990-an. Bapak pengajar seni lukis dan seni musik itu pergi pulang bersepeda onthel saja. Sangat sederhana, tetapi benar-benar cerminan guru teladan bagi karyawan-karyawati yang masih muda seperti aku.
Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. Rasanya adem banget bertemu dengan beliau. Sepertinya beliau adalah orang yang tidak pernah bisa marah. Handsome, calm, friendly, dan banyak lagi karakter positif yang ditampilkannya. Karakter utama seorang guru dan calon guru. Sungguh sangat pas beliau mengajar di Sekolah Pendidikan Guru, baik sekolah negeri dan sekolah swasta sebagai sambilannya.
Nah, aku sebagai salah seorang guru muda yang diam-diam mengagumi sosok beliau. Seandainya ada putra atau adik beliau yang sangat mirip raut dan pribadinya, pastilah aku mendaftar menjadi pasangannya ... ahaha ...!
Sesuatu hal yang mustahil, bukan? Kenyataannya aku telah memiliki sebuah keluarga kecil dengan tiga jagoan balita yang pintar, sehat, lucu, dan menggemaskan. Hanya sekadar intermezo kukira!
Ya, bapak baik hati tersebut bernama Bapak Rooswinarto. Kala itu, kami sedang melakukan upacara perpisahan karena beliau purnatugas. Ya, konon katanya beliau sudah mengabdikan diri di sekolah tersebut cukup lama, sekitar dua dasawarsa. Bukan main, kan? Pengabdian dan dedikasi luar biasa menurutku, sih!
Pada saat perpisahan itu, kepala sekolah menyematkan sebuah cincin di jari manis Bapak Rooswinarto. Anehnya, di dalam hatiku tebersit rasa iri sekaligus ingin memperolehnya suatu saat kelak jika purnatugas pula. Sungguh, suatu kenangan manis dan indah kala itu. Bahkan, ketika beberapa bulan kemudian terdengar beliau jatuh sakit dan pulang ke keabadian.
Ketika beliau mengalami sakit, aku ikut membezuk di rumahnya. Tidak pernah kupikirkan kalau rumah beliau sangat sederhana dan berada di tepi sungai. Untuk bisa sampai di rumah tersebut, harus melewati jalan kecil dengan kelokan dan turunan cukup tajam. Jadi berpikir betapa susahnya saat beliau masih aktif bekerja dengan mengendarai sepeda onthel-nya. Bahkan, katanya pernah terpeleset dan masuk ke sungai kecil itu tatkala musim hujan karena jalan setapak itu tidak beraspal ataupun bersemen. Atas kejadian tersebut, masyarakat bergotong royong membangun jalan dengan mengalas semen dan bebatuan sehingga tidak licin saat musim penghujan tiba.
Karena suatu hal, lima tahun berikutnya aku harus meninggalkan sekolah itu. Bukan purnatugas, melainkan karena suatu hal saja. Maka, bukan cincin emas yang kuperoleh karena masa pengabdianku hanya 14 tahun. Apalagi, saat aku harus mutasi ke sekolah lain tersebut, kondisi keuangan sekolah sedang pailit pula. Ada sedikit kecewa, tetapi harus kuakui semua di luar kendali manusia. Dengan demikian, meskipun hanya memperoleh kenang-kenangan kain, aku harus menerimanya.
Sayang sekali, kebetulan aku tidak menyukai motif kain yang diberikan sehingga saat itu juga langsung kuberikan orang lain. Entah kuberikan siapa, aku lupa. Hmm, ternyata ... ada akar pahit juga, ya ... di dalam hatiku ini! Aku kehilangan sukacita!
Aku harus berpindah-pindah dari sekolah satu ke sekolah lain karena tujuanku memang mencari sekolah yang mengizinkan untukku melanjutkan berkuliah di pascasarjana. Bersyukur, selama perkuliahan aku diterima di salah sebuah sekolah menengah atas swasta yang beroperasi sore hari. Dengan demikian, aku bisa mengikuti perkuliahan di pascasarjana pagi hari. Sepulang kuliah langsung lanjut mengajar hingga sore hari tiba. Jadi, setiap hari nonstop pagi hingga sore di luar rumah, sementara malam hari mengerjakan tugas yang cukup berat. Bersyukur, empat semester bisa kulalui bersama kasih-Nya semata. Bersyukur keluarga sangat mendukung aktivitasku saat itu.
Beberapa saat setelah lulus kuliah, ternyata sekolah sore tempatku mengabdi tersebut  mengalami musibah. Sekolah harus ditutup karena sesuatu hal sehingga aku dimutasi ke salah sebuah sekolah menengah pertama negeri. Tidak masalah di mana pun ditempatkan, apalagi masih berada di satu kota, bukan hal yang susahlah!
Suka duka kulalui dengan bersyukur dan bersukacita saja. Beruntung di sekolah baru ini aku bisa mempersembahkan prestasi  lumayan. Pernah menjadi juara kedua pembuatan karya tulis penggunaan alat peraga inovatif se-provinsi. Pernah juga menjadi juara kedua guru berprestasi sekotamadia. Bersyukur sekali karena Tuhan memberikan kesempatan dan sekolah pun mendukungnya.
Akhirnya, tatkala aku purnatugas di sekolah ini dengan pengabdian selama 14 tahun juga, aku memperoleh sebuah cincin emas! Sungguh, tidak pernah terpikirkan bahwa apa yang pernah membuatku iri pada beberapa tahun sebelumnya, kini kuperoleh juga. Rasanya malu banget kepada Tuhan karena saat itu aku memiliki akar pahit. Padahal, waktunya memang belum tiba untukku. Semoga Tuhan mengampuni kejahatanku, kejahatan hatiku ini.
Kini aku tahu bahwa iri tersebut ternyata mengeram di dalam hatiku beberapa saat lamanya. Iri yang sebenarnya membuatku berjarak dengan sesamaku. Iri yang menyesatkan! Namun, jujur aku pun tidak mengetahui secara pasti mengapa rasa itu melandaku tanpa kuminta. Setelah tahu bahwa ternyata Tuhan memberikan cincin kepadaku dari tempat lain, rasanya malu sekali. Malu kepada Tuhan karena aku telah berburuk sangka dan memiliki sifat dan sikap buruk.
Semoga menjadi pelajaran berharga baik buatku pribadi maupun bagi siapa pun yang membaca diaryku kali ini. Jika memang belum waktunya, bukan saatnya, apa yang kita inginkan belum diberikan oleh-Nya. Namun, di saat yang tepat, Tuhan pasti akan memberikan yang terbaik sebagai apresiasi atas kerja prima kita. Maka, seyogyanya di mana pun tempatnya, di mana pun ditempatkan-Nya, harusnya berprasangka, berperilaku, dan berprestasi sebaik mungkin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H