Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Diary

Cincin Cenderamata

17 Juni 2024   18:30 Diperbarui: 17 Juni 2024   20:51 69
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Diary. Sumber ilustrasi: PEXELS/Markus Winkler

Cincin Cenderamata

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Hari menjelang senja. Suasana redup karena mendung menutupi dirgantara. Terdengar suara azan dari beberapa musala dekat rumah bersahut-sahutan pertanda malam telkah berada di ambang pintu.
Tak ada seekor pun kukila yang kulihat melintas di angkasa. Langit kelabu tampak bersih semata. Entah ke mana hewan bersayap itu berada. Mungkin sudah menikmati istirahatnya di sarang masing-masing.

Aku mengajak si cantik Oyen untuk masuk kamar. Sengaja hendak kuajak rehat karena lelah seharian beraktivitas. Namun, si Oyen rupanya masih hendak menikmati suasana senja di luar rumah. Memberontak ingin keluar dari kamar saja.

Ya, sudahlah. Biarlah kunikmati istirahat senjaku sendirian saja. Biarlah Oyen menikmati kebersamaan dengan ayahnya, si Kumoru dan kucing betina warna kusam yang biasa bertandang meminta jatah makanan sisa. Maka, setelah membukakan pintu agar Oyen keluar dari rumah, aku pun kembali menikmati kesendirian di kamar pribadi.

Tetiba pandanganku tertuju ke sebuah foto kebersamaan suami dengan koleganya yang terpajang cukup besar. Entah foto itu dibuat tahun berapa. Namun, tak kusengaja, aku pun teringat akan seseorang. Seseorang yang justru berada di luar foto itu!

Sosok kebapakan ini sangat tampan di usia tuanya. Rautnya sangat handsome menurut pandanganku. Perilakunya pun sangat santun dan kalem. Beliau adalah teman guru senior di sekolah pertama pengabdianku sebagai karyawati. Ya, aku diterima di sekolah itu sejak lulus kuliah hingga empat belas tahun kemudian.

Aku lupa entah tahun berapa. Seingatku kisaran tahun 1990-an. Bapak pengajar seni lukis dan seni musik itu pergi pulang bersepeda onthel saja. Sangat sederhana, tetapi benar-benar cerminan guru teladan bagi karyawan-karyawati yang masih muda seperti aku.

Senyuman tak pernah lepas dari wajahnya. Rasanya adem banget bertemu dengan beliau. Sepertinya beliau adalah orang yang tidak pernah bisa marah. Handsome, calm, friendly, dan banyak lagi karakter positif yang ditampilkannya. Karakter utama seorang guru dan calon guru. Sungguh sangat pas beliau mengajar di Sekolah Pendidikan Guru, baik sekolah negeri dan sekolah swasta sebagai sambilannya.
Nah, aku sebagai salah seorang guru muda yang diam-diam mengagumi sosok beliau. Seandainya ada putra atau adik beliau yang sangat mirip raut dan pribadinya, pastilah aku mendaftar menjadi pasangannya ... ahaha ...!

Sesuatu hal yang mustahil, bukan? Kenyataannya aku telah memiliki sebuah keluarga kecil dengan tiga jagoan balita yang pintar, sehat, lucu, dan menggemaskan. Hanya sekadar intermezo kukira!

Ya, bapak baik hati tersebut bernama Bapak Rooswinarto. Kala itu, kami sedang melakukan upacara perpisahan karena beliau purnatugas. Ya, konon katanya beliau sudah mengabdikan diri di sekolah tersebut cukup lama, sekitar dua dasawarsa. Bukan main, kan? Pengabdian dan dedikasi luar biasa menurutku, sih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun