Bukan Kebetulan
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
"Mak, semesteran tinggal dikit lagi. Saatnya bayar, ya, Mak!" tulis Yumi anak semata wayang yang ditinggalkan di kampung bersama sang nenek.
Si anak mengirim SMS. Bukan HP android, hanya HP jadul yang bisa digunakan SMS dan telepon saja.
Emak menghela napas panjang. Sejak suaminya menghilang sepuluh tahun silam, dia harus pontang-panting menghidupi keluarga kecilnya seorang diri. Ibu kandung dan Yumi menjadi tanggung jawabnya.
"Waduh, kok bersamaan, sih. Yaaahh, uang kontrakan sudah ditagih pula! Ya, Allah ... mudahkanlah rezeki hamba," doanya sambil menengadahkan kedua telapak tangan.
Emak sedang merantau mencari nafkah di ibu kota provinsi. Setiap hari menyiapkan dagangan berupa nasi jagung, urap-urap, aneka gorengan, ikan asin, dan sayur lodeh. Dibawanya dagangan itu dengan bersepeda kayuh.
Bila dijajakan ke proyek bangunan, pasti akan laris manis karena para kuli dan tukang menyukainya. Selain bersih, enak, dan murah, penampilan Emak juga lumayan necis. Wajahnya masih menyiratkan kecantikan alami tanpa polesan. Bugar natural dengan senyum bersahabat.
Hari itu Emak mengalami musibah. Sebuah kendaraan roda empat menyerempet tatkala ia hendak pulang. Beruntung dagangan sudah habis sehingga tidak banyak kerugian. Hanya luka-luka lecet dan ban sepeda nyaris seperti angka delapan.
Seorang ibu setengah baya turun tergopoh-gopoh, "Ambilkan kotak P3K, cepat!" perintahnya kepada sopir.
"Aduhhh, Bu. Maafkan sopir kami. Apakah perlu ke klinik untuk mengobati luka-luka Ibu?" tanyanya.
Emak menggeleng lemah sambil merasakan pedihnya kulit tergores aspal jalan raya.