Untung Tidak Latah
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
SENIN, 25 AGUSTUS 1997.
Sudah lama sekali tidak sambang ke kampus setelah lulus S-1 tahun 1980. Tetiba suami memberikan signal lampu hijau untukku mengambil program S-2 biaya mandiri. Tentu saja alangkah senang hatiku. Bayangkan, menunggu waktu hingga tujuh belas tahun untuk kembali ke kampus kenangan. Apalagi tepat saat sulung pun masuk kuliah tahun ini.
Aku terlambat masuk. Ketika sudah pengumuman, baru diberi tahu suami dan langsung bersama adik sepupu segera ke kampus. Kebetulan sepupu sudah setahun lebih dulu mengikuri program S-2 Bahasa Inggris. Maka, dengan sangat senang hati, diantarlah aku ke ruang pascasarjana. Kebetulan banget, saat itu rektornya adalah dosen idola yang berasal satu daerah dengan kami.
Ya, dari Tulungagung, sebuah kota kabupaten yang lumayan terkenal dengan gethuk kutuk, jenis ikan air tawar yang memiliki banyak khasiat. Konon bisa membuat anak menjadi pintar juga. Memang saat itu, bocah Tulungagung sangat terkenal di IKIP Malang sebagai warga yang loyal, mayoritas pekerja keras, dan penerima beasiswa.
Maka, ketika berkesempatan menjadi dosen pun peluang menduduki jabatan strategis terbuka dengan lebar. Jadi, tidak mengherankan kalau beberapa pejabat penting diisi oleh imigran instan dari kota yang dulu terkenal sebagai kota banjir itu. Hehe, tentu saja sebelum proyek Niyama selesai, tepatnya tatkala aku masih kanak-kanak hingga remaja.
Dari pembicaraan singkat, aku diizinkan mengikuti tes tertulis dan wawancara bersama rombongan lain yang terlambat masuk. Bersyukur kepada Tuhan, aku diterima menjadi orang kesepuluh dan masih menunggu beberapa lagi dari provinsi lain.
SENIN, 22 SEPTEMBER 1997.
Tatkala antre di Ruang Registrasi yang terkenal dengan sebutan gedung RR itu, tetiba seseorang nggablok bahuku dari belakang. Pukulan dari belakang yang cukup keras itu, lumayan membuat kaget.
Beruntung aku bukan penderita latah seperti salah seorang teman yang jika dikagetkan otomatis spontan berkata kotor dengan misuh, sumpah serapah yang kadang menggelikan. Misalnya, dengan menyebut salah satu jenis hewan. Sebagai contoh, "Eh, jaran!"
Nah, kalau mengucapkan kata kotor dengan menyebut sesuatu yang tabu, 'kan aduhai sangat memalukan. Namun, entahlah justru teman-teman malah gemar menggodanya. Sungguh, kesemena-menaan yang tidak kenal belas kasihan, kan, ya?
Hehe ... itulah sebabnya, seringkali teman yang sedemikian malah dibuat sebagai bahan tertawaan dan malah sengaja dibuat guyonan. Beruntung jika si teman mengucapkan kata bernuansa agama dalam kekagetan, misalnya, "Ya, Allah!" atau sejenisnya.
Aku pun sangat kaget. Dengan menoleh, kutelisiklah siapa gerangan yang telah memukulku sambil tertawa riang sok kenal. Namun, aku mengingat-ingat dengan susah payah dan sebenarnya juga merasa kasihan karena aku sama sekali tidak mengenalnya.
"Hai, kamu luar biasa, ya! Sudah lama banget tidak bertemu, ternyata kita bertemu di sini! Apa kabarmu, Lolita? Bagaimana kabar Bli Kadek?" berondongnya antusias sok akrab.
Tentu saja aku sangat kebingungan.
"Kok aku disapa Lolita?" batinku sambil susah payah mengingatnya.
Kutelusuri rautnya, tetapi tak berhasil kuingat. Kukernyitkan alis dengan menelengkan kepala.
"Mbak siapa, ya?"
"Ya, Allah, Lita! Aku Tati! Teh Tati, yang dari Bandung, jurusan Tata Boga dan Busana! Masak kamu lupa?"
Aku menggeleng-geleng, "Maaf, Mbak. Saya bukan Lolita, melainkan ...."
Belum selesai aku berbicara, seorang teman lain mendekatinya, "Teteh, maaf ... Mbak ini bukan Lolita. Kabarnya Lolita sudah berpulang tahun lalu, Teh!"
Seketika ada duka mahahebat di netranya. "Oh, maaf!"
#
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H