Passion Istimewa di Kala Purna
Oleh Ninik Sirtufi Rahayu
"Hal yang sangat menyenangkanku adalah membaca novel! Dengan membaca novel, aku selalu bisa merasa luar biasa bahagia. Serasa bisa menjelajah ke mana pun sesuai deskripsi yang disajikan penulisnya," gumamku ketika jenuh melakukan aktivitas rutin.
Kegemaran membaca terbentuk sejak aku usia prasekolah. Kakek yang kala itu belum pensiun sebagai kepala sekolah selalu membawaku ke sekolah tempat beliau berdinas. Aku menjadi murid pupuk bawang, murid istimewa hingga calistung sudah kukuasai sebelum benar-benar memasuki usia sekolah.
Selain itu, dua kakak sepupuku merupakan alumni jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, FKSS, IKIP Malang. Satu sepupu lelaki dan satu lagi perempuan dari perguruan tinggi yang sama, keduanya bergelar Sarjana Muda dengan titel B.A. Mereka berdua mengajar di SPG Negeri dekat rumah. Karena sepupu lelaki berasal jauh dari Trenggalek selatan, beliau indekos di rumah kami.
Ada satu lemari buku yang berisi karya sastra tulisan sastrawan terkenal, seperti Sutan Takdir Alisyahbana, Marah Rusli, Suman Hasibuan, Hamka, dan lain-lain. Adapun judul-judul buku tersebut Siti Nurbaya, Pertemuan Jodoh, Salah Pilih, Mencari Pencuri Anak Perawan, Anak Perawan di Sarang Penyamun, Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk, Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan lain-lain. Nah, roman yang kini termasuk ke dalam novel tersebut tentu saja sudah kulahap sejak usia SD. Maka, tak heran jika imajinasiku begitu liar berpendar ke mana-mana.
Jika tidak ke perpustakaan, aku selalu pergi mencari buku yang bisa kubaca secara gratis. Kalau ada saudara yang berlangganan majalah, apa pun itu, selalu bisa menjadi penawar hausku akan bacaan. Kadang juga ada penyewaan buku, tetapi sayang saat itu yang disediakan kebanyakan sejenis komik. Jujugan pertama ketika suntuk, pastilah kios buku bekas yang kebetulan berada tidak jauh dari rumah.
Saat membaca cerita atau novel, aku selalu berpikir, "Suatu saat orang harus membaca juga karyaku, tulisanku. Sama seperti saat ini aku membaca karya orang lain!"
Keinginan yang satu ini menggebu-gebu. Namun, kalah dengan kesibukan dinasku belaka.
Saat duduk di bangku SD dan SMP, aku berkesempatan menulis, tetapi genre puisi. Hal itu karena puisi lebih pendek dan bisa mewakili seluruh perasaan dan pikiran. Namun, sayang, puisi-puisi tersebut tidak terdokumentasi dengan rapi. Pernah sempat kutuliskan di buku tulis, tetapi tidak mendapat dukungan dari lingkungan. Buku tersebut dimusnahkan. Bahkan sampai dua kali, justru oleh dua sosok orang terdekatku. Ah, sudahlah, tidak perlu kusebut, sebab aku pun ingin melupakannya. Bagaimana pun team support system itu sangat diperlukan!
"Sakitnya, tuh di sini!" senandikaku sambil memegang dada tentu saja.
Semester pertama kelas 2 SPG, aku berhasil menuliskan cerpen perdana, berjudul "Gempa". Imajinasi nakalku membuat cerpen tersebut  sad ending dengan rumah hancur lebur rata dengan tanah. Padahal, saat itu, sekencang-kencangnya gempa bumi palingan hanya membuat dinding retak. Ternyata, terjadi sungguhan seperempat abad kemudian dengan adanya petaka tsunami di beberapa daerah.
Memasuki masa perkuliahan, aku pun nyatanya mengambil jurusan dan perguruan tinggi yang sama dengan kedua sepupuku. Napak tilas! Demikian juga saat lulus kuliah, aku juga diizinkan-Nya mengajar jenjang SPG meskipun sekolah berstatus swasta.
Ya, aku diangkat sebagai guru PNS dpk. alias diperbantukan di sekolah swasta. Namun, sepuluh tahun menjelang purnatugas, aku dimutasi ke sekolah negeri. Tak apalah, di mana pun ditempatkan, tetap enjoy dan berusaha menjadi yang terbaik versi diriku. Karena itu, menjadi guru favorit di antara sekian siswa, sudah biasa kuraih sebab aku menggunakan metode mapping dengan kapur berwarna-warni atau spidol empat warna yang tidak pernah dilakukan guru lain. Di samping kuajak siswa dalam proyek menulis yang ternyata disukai dan dikenang dengan manis oleh anak-anak.
Sebenarnya, untuk biaya kuliah, kakek dan nenek tidak sanggup menanggungnya. Namun, aku bersikeras dengan berdalih pasti akan mendapatkan beasiswa. Aku yakin karena memang dari segi prestasi, Tuhan memberikan kelebihan kepadaku. Mohon maaf, jujur, nilaiku selalu di atas rata-rata alias menjadi bintang kelas dengan raihan lulusan terbaik pada setiap jenjang pendidikan. Keyakinanku itu pun benar. Allah memberikan hadiah beasiswa jalur TID, Tunjangan Ikatan Dinas sejak semester pertama hingga lulus sarjana.
Tuhan memberikan kekurangan, tetapi juga melengkapinya dengan kelebihan. Melalui kelebihan itulah, kekurangan akan sedikit terkubur dan terkaburkan. Betapa adil dan bijaksananya Allah yang mahahebat, bukan? Pasti! Kita pasti dibekalinya dengan aneka talenta yang bisa kita gunakan untuk mengais rezeki.
Oh, iya. Aku memang ikut dan berada di bawah pengasuhan kakek nenek karena alasan klasik. Ayah dan ibu tidak bisa menikah resmi karena ayah yang anggota TNI sudah terikat pernikahan sebelumnya. Tak perlu kusebut di sini alasan mereka karena yang ingin kuangkat secara fokus adalah bagaimana perjalananku menjadi penulis.
Tiada hari tanpa membaca, khususnya membaca novel. Itulah hari-hariku. Membaca bagiku seolah membuang kejenuhan melakukan rutinitas. Me time yang aduhai, apalagi berada di tempat nyaman yang sunyi tanpa gangguan siapa pun. Keluar dari zona hectic dengan berbagai jenis effort-nya sebagai sego jangan (habit) kesibukan keseharian.
Ada Burung-burung Manyar karya Romo Mangun yang menginspirasiku untuk melanjutkan kuliah meski usia sudah kepala empat. Ada Saman karya Ayu Utami yang sempat kami diskusikan saat di perkuliahan pascasarjana. Jalan Bandungan novel N.H. Dini juga yang sangat kusukai. Beberapa halaman buku milik perpustakaan tersebut sempat kutandai karena terpesona dengan pemaparan cerita yang disampaikan. Rusti Panti karya Dwianto Setyawan pun sempat mengharu biru hati. Apalagi Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata. Aku sampai memiliki dua buku saking cintanya. Karmila karya Marga T yang berprofesi sebagai dokter pun sempat kubaca beberapa kali. Tentulah tak terhitung banyaknya novel yang telah sempat kunikmati.
Ketika menginjak semester dua, salah seorang dosen mengetahui kalau aku lulusan SPG dengan prestasi lumayan. Beliau memintaku untuk membantu mengajar di salah sebuah SMP swasta. Jadilah aku menyambil. Kuliah sambil bekerja. Lumayan juga, bisa sedikit membantu membeli lauk pauk.
Ternyata jodohku datang lebih cepat. Aku  harus menikah saat belum lulus, masih semester kelima. Akan tetapi, tak mengapa. Semua sudah diatur sedemikian rupa oleh-Nya. Lulus sarjana S-1 aku sudah memiliki dua balita dan langsung diterima bekerja di salah satu SPG swasta hingga diangkat menjadi PNS.
Kulihat ketiga jagoan kami memiliki kecerdasan luar biasa. Aku berjanji untuk mencari dana dengan giat buat mereka dengan bekerja keras. Aku  dan suami pun mengajar di beberapa tempat, termasuk memberi les privat dan menerima pengetikan skripsi secara manual. Bahkan, aku menulis cerita anak, naskah pendek untuk majalah, dan membuat artikel lepas di beberapa koran lokal.
Masih juga melakukan pembuatan dan pembacaan puisi untuk teman-teman yang sedang berulang tahun, dan pernah juga mencoba menjadi MC di beberapa acara. Namun, kesibukan yang utama adalah mengajar. Aku juga berprofesi sebagai dosen terbang. Istilah untuk menyebut dosen dengan jarak tempuh perjalanan panjang karena aku pun menyambil di perguruan tinggi swasta filial, jarak jauh. Jadi, sepulang mengajar sebagai PNS sekitar pukul 13.00-an berlanjut segera meluncur ke daerah-daerah untuk mengajar di perguruan tinggi sesuai jadwal. Bisa dibayangkan betapa effort-nya, kan? Â Belum memiliki kendaraan pribadi, masih menggunakan angkutan umum!
Beruntung kami mempunyai asisten rumah tangga hebat, yakni saudara sepupu suami yang tidak mau meninggalkan kami. Jadi, sejak anak-anak balita hingga saat ini dia masih setia ikut kami. Tugasnya kini beralih fungsi, tidak lagi momong, tetapi menunggu rumah yang telah kami hibahkan buat si bungsu yang masih berada di Texas, Amerika Serikat.
Ya, kami berniat menyediakan fasilitas buat ketiga jagoan untuk meraih cita-cita mereka. Jangan sampai mereka kecewa karena kami tidak bisa membiayai kuliahnya. Terpujilah Tuhan, ternyata ketiganya memperoleh beasiswa, baik sejak di tingkat strata satu, dua, dan tiga. Bahkan, sulung dan bungsu menikmati perkuliahan berbeasiswa hingga sekitar sembilan tahun di mancanegara.
Ketika anak-anak masih balita, mereka tahu bahwa aku sering mengirim naskah cerita ke majalah dan koran. Mereka selalu bersorak jika naskah yang kutulis berbekal mesin ketik manual itu dimuat dengan bukti dikirimnya wesel pos bernilai nominal tertentu. Ketika kami berdua mengetik skripsi berlembar-lembar, putra sulung dan kedua pun membantu memilah menjadi masing-masing enam set. Nah, mengetahui dan mengalami langsung bagaimana orang tua sibuk bekerja, ternyata membentuk karakter dan adat serta adab positif pada perangai dan perilaku mereka.
Ketiga jagoan kami, meskipun bekerja di bidang masing-masing, basic-nya tetap sama: menjadi dosen. Sulung dan si tengah sering diundang menjadi dosen tamu di civitas akademinya sesuai latar belakang pekerjaan. Sementara, bungsu yang dokter memang berpredikat sebagai dosen.
Setelah purnatugas, aku bisa kembali ke impian awal sejak remaja: menjadi penulis. Kebetulan salah seorang teman pengajar di bimbel mengajakku ikutan kelas menulis online di salah sebuah kursus menulis online pada Oktober tahun 2020, sekaligus saat bersamaan mengajak ikut nubar di suatu penerbit. Dari kelas menulis online tersebut terbitlah nubar pertama dengan judul Carita Kulasentana. Lalu aku mengikuti penerbitan gratis dari salah satu penerbit hingga sembilan naskah terbit solo di penerbit tersebut. Namun, sayang, buku tersebut dijual cukup mahal sehingga kurang diminati masyarakat. Apa pun hasilnya, aku tetap bahagia karena buku-buku tersebut sudah ber-ISBN. Setidaknya, namaku sudah tercatat di Perpusnas.
Sejak saat itulah aku malang melintang di dunia kepenulisan. Bukan hanya di salah satu penerbit, melainkan juga merambah berbagai event yang ditawarkan penerbit lain, termasuk mengikuti lomba-lomba kepenulisan. Di sebuah penerbit tertentu, tercatat enam bahkan tujuh kali aku memperoleh hadiah sebagai PJ dengan penjualan buku terbanyak yang diadakan setiap caturwulan. Juga pernah menjadi juara kedua penulisan cerpen pada event nubar se-Asean dengan hadiah nominal cukup tinggi. Ini sekadar prestasiku di bidang literasi yang tujuan dasarnya bukan mencari uang, melainkan menyalurkan hobi saja.
Sampai detik ini, Juni 2024, berawal dari 20 Oktober 2020 silam,  buku solo yang sudah kuhasilkan  meliputi berbagai genre berjumlah 24 judul. Dua judul sedang antre ISBN di perpusnas. Sementara itu, antologi nubar (nulis bareng) berjumlah 160 judul juga terdiri atas berbagai genre. Tentu saja suatu judul tidak diperkenan terbit pada dua buku. Jadi, setiap buku pasti berisi cerita berbeda. Selain jumlah di atas, di samping masih ada dua naskah buku solo yang sedang antre ISBN, juga beberapa judul antologi masih on proses.
Ada yang bertanya, kok bisa dalam waktu tiga tahun setengah memperoleh jumlah fantastis begitu. Ya, untuk beberapa buku solo, khususnya artikel, kuambil dari file lama yang dimuat koran lokal. Sementara, sebenarnya, berdasarkan pengalaman, satu novel dengan jumkat (jumlah kata) 15.000 itu bisa diselesaikan dalam waktu satu minggu saja, kok. Itu kalau kebetulan sedang sepi tugas editing. Kalau sedang sibuk, biasanya aku mencicilnya. Yang penting sudah ada mind map atau out line kasar berupa oret-oretan, kapan pun bisa dieksekusi.Â
Dari mana saja sumber ide penulisan buku solo tersebut? Yang pertama-tama memang dari pengalaman pribadi. Berikutnya, pengalaman hidup dari saudara, sahabat, atau orang-orang terdekat yang kuketahui secara detail. Meskipun, tentu saja hasilnya akan kutambahkan dengan bumbu fiksi terkadang berupa imajinasi atau halusinasi. Karena itu, tidak sama persis dengan apa yang terjadi di dalam kehidupan sanak saudara yang menjadi sumber ide. Tidak jarang, ide datang dari sumber bacaan atau film yang sempat kutonton. Dari hal-hal tersebut, bisa kita ramu sedemikian rupa sesuai keinginan dan kemauan kita sang penulis. Menurutku, yang penting harus peka dalam menyikapi apa yang diperoleh dari pajanan sehingga bisa segera mengeksekusi menjadi sebuah tulisan.Â
Aku masih merasakan betapa sulit membuat konflik ganda. Karena itu, aku masih terus akan belajar dan belajar, berlatih dan berlatih agar bisa meramu sebuah kisah dengan konflik lebih rumit. Ada sebuah novelet yang kuhasilkan dengan komentar dan testimoni lumayan disukai dan laku hampir seratus eksemplar. Namun, aku masih belum puas. Harus berlatih terus hingga hasilnya bagus dengan teknik showing bukan telling alias sekadar karya ecek-ecek. Masih butuh asupan energi untuk menuju sukses. Masih berproses dan berprogres.  Â
Bagaimana dengan masalah dana? Ya, kebetulan aku menabung dari fee yang kuperoleh baik sebagai editor maupun PJ. Dana itulah yang kugunakan untuk biaya penerbitan buku solo. Aku juga berdoa, semoga ada di antara teman-teman yang berkenan meminang buku soloku sehingga urusan dana dimudahkan oleh-Nya.
Inilah kisah seputar dunia kepenulisan yang kugeluti. Memang, basic pendidikanku adalah jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia sehingga lumayan tidak begitu sulit menuangkan ide dan menerapkannya ke dalam tulisan. Namun, bukankah orang yang tidak berlatar belakang sepertiku juga bisa menjadi penulis andal? So, tidak perlu insecure. Jika ingin menulis, ya tulis sajalah apa yang ada di otak dan di benak. Mengarang itu Gampang, kan? Seperti  kata Arswendo Atmowiloto dalam judul bukunya ini. Â
Yang paling penting adalah memiliki kesempatan dan kemauan menulis, menulis, dan menulis saja. Sebab, sebagaimana pengalaman menerbangkan pesawat atau mengendalikan kendaraan di jalanan, kemampuan menulis pun membutuhkan jam terbang tinggi.
***Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H