KISAH SI ENGGANG
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Nun disebuah dusun, di seberang perbukitan, terdapat sebuah perkampungan dilintasi sebuah sungai dengan aliran air sangat jernih, namanya Sungai Binor. Di tepi sungai itu hiduplah sekelompok unggas. Mereka hidup dengan rukun dan damai, saling membantu dan saling bergotong royong. Kecuali seekor jenis unggas yang terkenal  dengan sebutan si Enggang.  Ia  sangat malas dan tidak peduli dengan para tetangganya.
Selain egois, ia juga sering memanfaatkan keadaan demi keuntungan pribadi. Jika diingatkan, ia tidak mau menerima. Bahkan, ia tidak pernah mau meminta maaf meskipun dirinya jelas-jelas bersalah. Ia  selalu merasa benar atas tindakan apa pun yang dilakukan.
Selama ini mereka membeli kebutuhan sehari-hari ke pasar yang ada di kampung seberang. Mereka akan menggunakan perahu secara bergantian karena jumlah perahu hanya ada dua. Itu pun dibuat atas gotong royong warga.
Saat ini mereka agak kesulitan jika mau ke pasar atau mengantar anak-anak mereka untuk berangkat dan pulang sekolah. Hal ini karena salah sebuah perahu yang biasa  mereka tumpangi ternyata bocor.
Karena kesulitan tersebut, pada akhirnya para unggas mengadakan rapat warga. Hasil  muswawarah memutuskan bahwa mereka harus membangun jembatan agar tidak terlalu tergantung pada perahu. Mereka memang sangat memerlukan jembatan itu sebagai penghubung transportasi ke kampung seberang.
Suatu hari, warga dusun  mulai mengadakan gotong royong pembangunan jembatan. Semua warga sibuk dengan tugas masing-masing. Ada yang mengangkut kayu-kayu, ada yang menggergaji, ada yang menanam dan membenamkan tiang pancang. Bahkan, ada pula yang bertugas mengurusi konsumsi di dapur umum.
"Lihat, tetangga kita yang satu itu! Tega banget! Bukannya ikut membantu, eh ... malah asyik duduk-duduk enak di depan rumahnya. Memangnya kita tontonan?" ujar si Ruak-ruak seekor unggas berjenis miniatur bangau, tetapi berbulu hitam.
"Iya, kok tidak punya malu, ya? Aneh! Ck, ck, ck ...," sahut si burung puyuh  seraya menggeleng-geleng.
Mereka sudah lama kesal dengan sifat dan sikap si burung Enggang yang egois. Terkadang bahkan kelakuannya sangat menyebalkan. Kalau berbincang dengan tetangga, ingin dinilai sebagai sosok yang baik dengan selalu membanggakan diri. Akan tetapi, kenyataannya ia tidak punya rasa empati dan simpati. Tidak pernah peduli dengan kepentingan sesama unggas. Â Bahkan, ia cenderung mengambil keuntungan dalam setiap keadaan.
"Teman-teman, istirahat dulu! Makanan sudah siap! Nanti dilanjutkan lagi kerjanya!" teriak seekor ayam leghorn betina yang cantik dengan buku berwarna cokelat.