Berburu Gangsir
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Di halaman depan rumah, sore sekitar pukul lima itu sangat riuh karena beberapa anak kecil sedang beracara. Ada yang bertugas mengamati tiap jengkal tanah untuk mencari lubang dan gundukan. Ada  yang membawa ember berisi air, ada juga yang membawa lidi untuk mengorek-ngorek tanah. Beberapa lelaki kecil pun memasang kail berupa rambut pada ujung lidi yang hendak digunakan sebagai senjata mengait si serangga.
Ketika beberapa anak kecil lelaki dan perempuan berkumpul, mereka harus pasang kuping baik-baik. Kadang berpencar mengitari tanah pekarangan sambil memperhatikan suara serangga. Begitu didengar suara gangsir yang nyenthir thhiiiiir ... thiiiirrr ... segera berebutan mencari sumber suara.
Setelah menemukan sumber suara, salah seorang jongkok di dekatnya. Sebatang lidi berujung gulungan rambut dimasukkan ke dalam liang. Jika sudah masuk, lidi akan diputar-putar agar kaki serangga tersangkut sehingga mudah ditarik keluar. Jika serangga berada terlalu jauh ke dalam, digunakanlah air. Air dimasukkan ke dalam lubang sehingga serangga akan keluar dengan sendirinya. Dua cara inilah yang digunakan saat berburu gangsir menjelang malam hari.
"Hei, di sini ada liang! Ada dua!" seru salah seorang memanggil yang lain.
"Oke, aku tunggu yang di sini, ya!" sahut salah seorang.
"Ini, ke sini! Di sini juga ada!" panggil teman dari arah lain.
"Siap, aku jaga yang di sini!" teriak seorang yang lain.
Mereka bekerja sama agar cepat memperoleh hasil karena waktu berburu pun hanya sekitar satu jam. Setelah itu, anak-anak harus pulang untuk belajar di rumah masing-masing.
"Nin ... sini, Nin! Cepat!" seru beberapa teman memanggilnya senja itu.