Jika hal ini sudah berjalan dengan baik, sekolah bahkan dapat memberikan penataran dan pembinaan penulisan karya ilmiah baik untuk guru maupun untuk siswa. Untuk guru, sikap mental menulis yang mentradisi akan mengantarkan prestasi akademik dalam rangka berburu angka kredit dan menambah koleksi bahan portofolio sertifikasi. Sementara untuk siswa, akan mengantarkan mereka ke jenjang pendidikan lebih tinggi. Bila hal di atas dilaksanakan pihak sekolah, guru bahasa Indonesia tidak akan segan memberikan koreksi terhadap pemakaian bahasa Indonesia baik secara tertulis maupun secara lisan. Di sisi lain pajanan bahasa Indonesia yang disajikan oleh setiap personalia warga sekolah dapat menjadi contoh konkret pemanfaatan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Selain pajanan bahasa Indonesia di sekolah yang jelas-jelas sebagai bahasa resmi dan bahasa pengantar tersebut, masyarakat pun memiliki andil tidak kecil dalam pemberdayaan bahasa Indonesia. Ambillah contoh tulisan-tulisan yang terpampang di tepi-tepi jalan. Bisa kita baca ketika kita melewati kompleks pertokoan Pasar Besar, misalnya: "Gayo Collection di jual disini", Parkir didalam", Jual Beli Spare Parts Sepeda Motor, Apotik Airlangga, Praktek Dokter Bersama, dan lain-lain. Di sekolah, guru memberitahukan kepada siswa  penerapan Ejaan  yang Disempurnakan, tetapi pajanan oleh masyarakat di tempat umum sebaliknya. Justru banyak hal salah. Siswa justru melihat dan membaca tulisan-tulisan yang tidak mengikuti aturan tersebut. Sayang sekali, bukan?Â
Apa yang disampaikan di kelas, justru tidak diperoleh di luar kelas. Seolah-olah pekerjaan guru adalah hal sia-sia belaka.Â
Era globalisasi yang melanda Indonesia menyebabkan masyarakat lebih tergila-gila pada pemakaian bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. Sungguh merupakan cermin betapa kurang cintanya masyarakat terhadap bahasa Indonesia karena dianggap kurang bergengsi. Segala sesuatu seolah-olah lebih tinggi nilainya jika ditulis dengan bahasa asing tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika masyarakat lebih memilih menuliskan  Audio Car Center, Handphone Second, Central Cellular, Service, Jual Beli Spare Parts Sepeda Motor,  Sky Way, dan lain-lain. Padahal, akan lebih megah jika disebut Pusat Musik Mobil, Telepon Selular Bekas, Pusat Telepon Selular, Servis, Jual Beli Suku Cadang Sepeda Motor, dan lain-lain.
Belum lagi pada acara-acara yang ditayangkan di media sosial, para pembicara bahkan sering menyisipkan kata-kata asing, bahasa asing. Rupanya dengan demikian tampak bahwa sang pembicara lebih go internasional. Barangkali, dianggap demikian.Â
Masyarakat dan pemerintah (dalam hal ini pemerintah daerah) tampak sekali kurang peduli terhadap keberadaan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa nasional, dan bahasa persatuan. Sekali lagi semboyan "yang penting paham" begitu melekat erat sehingga tidak ada tindakan apa pun yang dilakukan pemerintah dalam pembenahan pemanfaatan bahasa Indonesia pada pajanan yang tertulis jelas di tepi-tepi jalan raya.
Alangkah baiknya jika pemerintah daerah ikut serta dalam pemberdayaan bahasa Indonesia yang baik dan benar sehingga konsistensi pemakaian bahasa Indonesia di sekolah dan di masyarakat pun dapat terealisasi. Tanpa kerja keras aparat pemerintahan, sosialisasi pemanfaatan bahasa Indonesia yang baik dan benar pun tidak semudah membalik telapak tangan. Tampaknya, menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi, bahasa negara, dan sekaligus bahasa persatuan tidak semudah mengatakan cinta, amboi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H