TAK PERNAH KUDUGA
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Lima belas tahun silam. Aku memiliki seabreg aktivitas, baik di dalam maupun di luar rumah. Sebagai seorang ibu tiga cowok, tentu saja selain berdinas sebagai PNS, aku berkegiatan bebersih rumah. Ini karena dua putra cowokku sudah berada di ibukota, dan bungsu berada di rumah lain. Mereka sudah tidak bisa membantuku lagi. Semua harus kulakukan sendiri. Bebersih dan beberes rumah dengan memindahkan perabotan agar berganti suasana. Juga aktivitas bersama ibu-ibu di RT seminggu sekali untuk bermain badminton di halaman samping rumah kami.
Bungsuku sedang melakukan tugas coas di rumah sakit umum kota kami. Tetiba tangan kananku jika digerakkan terasa sakit. Itu terjadi setelah bebersih rumah, memindahkan barang-barang berat seperti: almari, rak mainan, ditambah lagi dengan intens-nya berlatih badminton menjelang pertandingan antaribu rumah tangga di RW kami. Aku kabarkan kepada bungsu bahwa ketiak kananku mlanjer (bhs Jawa: ada benjolan) karena aktivitas tersebut.
“Sakit enggak?” tanyanya.
“Sedikit nyeri, nggak enaklah!” keluhku.
Maka aku disarankan untuk memeriksakan diri agar segera tertangani. Mumpung dia masih bertugas ada di sana katanya. Aku pun bersegera mengurus rujukan untuk bisa memeriksakan diri secara lebih detail.
Izin tidak masuk kantor untuk memeriksakan diri ke rumah sakit umum itu merupakan sesuatu yang luar biasa. Berangkat pagi dengan antrean panjang mengular dimulai dari mengambil rujukan di klinik, lalu lanjut ke rumah sakit umum yang sebenarnya tinggal menyeberang jalan saja. Namun, karena menunggu antrean yang cukup lama, dengan kondisi rumah sakit yang dipenuhi manusia berbagai macam kondisi seperti itu ada juga rasa tidak nyaman di hati ini. Jika tidak penting, rasanya tidak ingin mengulangnya.
Hari ini untuk kedua kalinya aku izin berobat dan sampailah pada bagian yang harus kudatangi. Ya, siang itu aku sedang mengantre di bagian onkologi. Setelah berputar-putar, bertanya ke sana kemari, sampailah aku di ruangan ini. Cukup sulit menemukannya! Apalagi kondisi rumah sakit sedang renovasi besar-besaran.
Semua rekomendasi bungsuku ini kulakukan agar dia tidak mengkhawatirkan keadaanku. Tahu, ‘kan bagian apa onkologi itu? Tentulah masalah tumor hingga kanker yang ditanganinya.
Ada kulihat beberapa pasien yang menurutku sangat memprihatinkan. Dua orang ibu yang duduk bersebelahan denganku sama-sama telah diangkat sebuah payudaranya. Mereka sedang kontrol. Lalu, seorang bapak dari tempat yang jauh, usia lima puluhan dengan rahang berlubang karena menderita kanker. Semula tak kuketahui mengapa sebuah saputangan menutupi wajahnya. Kata seorang ibu yang mengantarnya memang dia perokok berat sejak usia muda. Kini takdapat lagi berbicara dan dengan kondisi muka yang cacat.
Aku mengetahui semua itu, karena aku memang tidak segan-segan bertanya kepada para pengantarnya. Sambil membuang jenuh, menambah pengetahuan juga! Meskipun, maaf, ada juga yang membuat perutku mual karena bau obat yang cukup menyengat.
Lalu tetanggaku sebelah rumah juga kutemukan di sana. Dia berdinas di rumah sakit itu. Kukira tempat tugasnya memang di situ, tetapi setelah kutanyakan kepada petugas yang lain, dia pun ternyata sedang berobat dan rawat jalan. Tetanggaku itu entah malu, menahan rasa sakit, atau bagaimana aku tidak tahu. Yang jelas dia tidak menyapaku walau aku sudah berusaha menganggukkan kepala dan pasang muka manis, siap ingin menyapanya. Aku tidak berpikir bahwa dia pun menjadi pasien di sana.