Dokter pun mengajak Anin berdiri di sampingnya. Dimintalah Anin menceritakan mengapa tidak memilih rumah sakit lain. Padahal, secara tersirat itu sebenarnya mengalihkan perhatian Anin dari ketakutannya. Anin  pun menceritakan bahwa sang ayah kandung adalah seorang perwira angkatan bersenjata yang kala purnawirawan sudah menduduki posisi pangkat mayor. Entah bagaimana, Anin sangat menyukai kedisiplinan yang dimiliki dan diterapkan di kemiliteran.
Bersamaan dengan cerita yang disampaikan Anin, tetiba sang dokter mencabut kawat yang sengaja digunakan sebagai pengganti gips.
Saat pencabutan itu, Anin berteriak, tetapi sang dokter tertawa. Sambil menunjukkan alat yang sebelumnya digunakan untuk menjaga agar jemarinya bisa tetap lurus itu, sang dokter berkata lantang.
"Terpujialh Tuhan! Semoga sendi jemari tengah ini selanjutnya tidak bermasalah, ya Bu!" ujar sang dokter.
Anin merinding begitu melihat kawat tebal berukuran sekitar sepuluh sentimeter itu.
"Ya, Allah ...!"
"Ya, dengan kawat ini, jemari Ibu yang 'dibetulkan' tersangga sempurna! Kawat ini telah berjasa, kan?" sang dokter mengangkat sambil tersenyum lebar.
***
"Nah, demikianlah kisah mengenai tangan kiri yang saya alami. Jadi, ... jangan pernah menyepelekan tangan kiri, ya! Almarhum ayah kandung saya yang invalid karena tangan kanannya diamputasi hingga sesiku, beliau menulis dan melakukan segala sesuatu dengan tangan kiri secara baik dan sempurna. Tangan kiri yang kata kita bukan tangan manis itu, terlalu vital bagi kelangsungan aktivitas kita, kan? Bisakah kita sepelekan? Karenanya  mari ... jangan abaikan tangan kiri kita! Bagaimana? Sepakat?" pungkasnya sambil menutup acara kala itu.
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H