Prasojo seolah tanpa sadar. Ia memajankan  lukisan alami pria dewasa yang belum pernah sekali pun dilihat oleh si gadis. Tentu membuat sang kemenakan terhenyak gemetar. Beruntung riak air menyembunyikan geletar itu. Namun, yang namanya iblis bermuka banyak memang tak kurang akal dalam menjerumuskan umat manusia. Berdalih apa pun, ular beludak tetaplah berbisa. Maka, dalam hitungan menit bisa itu telah menjalar ke seluruh aorta. Merasuki sendi dan nadi. Meracuni emosi, hasrat, dan terutama nafsu pria dewasa yang membanjir bertubi. Larut dan larat luar biasa.
Yang semula manis pun pasti akan terasa pahit pada akhirnya. Namun, siapakah kuasa mengendalikan jika birahi telah menjajah dan menjelajah ruang-ruang sepi makhluk bernyawa? Apa hendak dikata. Segala sesuatu terjadi dengan begitu rupa. Lancar jaya hingga pada akhirnya terhenyak dalam dekap berjuta rasa. Tanpa sekat.
Semua telah terjadi. Senja jahanam ataukah senja pesona tak mampu dibedakan secara sempurna karena bisa dan tipu daya iblis merona itu telah menoda. Sukses tanpa protes. Bahkan tanpa tangis dari sang gadis yang dalam hitungan menit telah berubah status. Justru seulas senyum paling manis dipersembahkan kepada sang ayah angkat yang terheran-heran menerima kenyataan. Kepasrahan diri yang justru membuatnya kian iba. Kepolosan dan ketulusan remaja sedang berkembang itu tidak pernah disadari oleh sang ayah angkat. Mengalir begitu rupa dari jiwa si gadis yang ternyata sejak lama mendamba.
Justru sang ayah angkat tergugu. Ia tahu telah gagal menjaga amanah untuk mengantar dan mengamankan si putri jelita hingga dewasa. Namun, malam ini justru berlaku peribahasa pagar makan tanaman. Prasojo melemas, terisak memohon ampun di kaki sang gadis karena telah melukis setitik noda di dalam lembar hidupnya.
"Its okay ... no problem, Pap!" lembutnya membuat Prasojo kian meleleh.
"Me-mengapa kamu setegar itu, putriku?" batinnya, tetapi suara terasa tercekat melihat wajah pias si jelita. Hanya tatap nanar dipajankan di depan sang kemenakan.Â
"Vivi tahu ... tidak akan bisa membalas kasih tulus Papap yang selama ini telah mengasuh, membesarkan, dan menghidupi Vivi yang yatim piatu ini," tak urung tirta netra pun luruh dari ujung matanya.
Prasojo kian tenggelam dalam rasa gamang galau luar biasa. Ternyata gadis ayu itu bersedia menyerahkan harta satu-satunya ... hanya karena ingin membalas jasa.
"Ya, Allah ... betapa jahatnya diriku ...."
Ditatapnya mata sayu sang jelita beberapa saat ... kemudian didekaplah dengan berurai air mata.
"Maafkan Papa, Cantik ...." hatinya merintih pula.