Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Damar Derana, Tresna Kulasentana, Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll. Buku solo 29 judul, antologi berbagai genre 171 judul.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Roro Kembang Sore

13 Mei 2024   06:34 Diperbarui: 13 Mei 2024   08:08 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Roro Kembang Sore
Ninik Sirtufi Rahayu

Di suatu dusun terkenal dengan sebutan Bolorejo, tinggallah seorang gadis yatim piatu yang hidup sederhana. Namanya Roro Kembang Sore. Gadis ini sangat cantik. Kulit kuning langsat dan postur tubuh tinggi semampai bak seorang bintang film masa kini. Rambut panjang, ikal, dan lebat tergerai hingga hampir mencapai lutut. Wajah oval, mata belok, hidung mancung, dan bibir tipis menawan. Apalagi gigi gingsulnya. Jika tersenyum, tampak dua lesung pipi menghiasi sehingga membuat siapa pun yang memandang terpesona. Hanya ada satu kata untuk menyebutnya: sempurna!


Sementara, seorang janda paruh baya tinggal di tetangga desa, di Balerejo. Kedua desa ini hanya terpisah sebuah sungai. Janda tersebut bernama Mbok Kamisun. Beliau sangat prihatin melihat si gadis tinggal sendirian. Beliau pun sangat mengkhawatirkan keselamatan putri jelita itu. Mbok Kam, demikian beliau disapa, begitu perhatian dan pengertian. Maka, dimintalah Roro Kembang Sore tinggal bersamanya. Dengan demikian, baik Mbok Kam maupun Kembang Sore, memiliki teman untuk sekadar berbincang setiap hari.


Konon kecantikan Roro Kembang Sore sudah tersohor hingga ibu kota kerajaan. Beberapa jejaka sering berseliweran di depan rumahnya hanya sekadar memastikan kejelitaan si gadis.


Seorang  putra mahkota kerajaan bernama Pangeran Lembu Peteng jatuh cinta kepada si gadis. Ada  pula Joko Pinurbo pemuda berbadan kekar putra juragan batik yang mengincarnya. Bahkan, ada seorang senapati tampan bernama Adipati Kalang. Pria inilah yang berani bertandang ke rumah mereka. Semula sikap  Kembang Sore masih biasa-biasa saja, belum menunjukkan gelagat menyukai pria.  


Adipati Kalang beberapa kali sempat bertandang, Kembang Sore mulai bersimpati karena perangai, kebijakan, dan kelembutannya. Ketelatenan pria tampan ini membuahkan hasil. Mbok Kam pun merasa pria inilah yang pas dan pantas mempersunting si gadis.
Ketika si gadis mulai menyukai sang pemuda, putra mahkota yang mendengar berita itu merasa tersaingi. Putra mahkota meminta kebijakan ayahandanya agar bisa memenangkan hati si jelita.


"Wahai Putra Mahkota! Ayahanda tak bisa berbuat banyak dalam urusan pribadimu! Hadapilah dengan gentle jangan menjadi pengecut! Jangan pula melibatkan Ayahandamu ini!" demikian nasihat sang ayah ketika mengadukan masalahnya.


Untung  tak dapat diraih, malang pun tak dapat ditolak. Tetiba terjadi huru hara yang mengharuskan Pangeran Lembu Peteng dan Adipati Kalang terjun langsung menumpas pemberontak.


Terjadi kejar-mengejar antara pasukan kerajaan dengan pasukan pemberontak. Adipati Kalang yang membawa pasukan terdesak. Bahkan, tertangkap dan terbunuh oleh pasukan musuh. Di suatu perempatan, tubuhnya dianiaya, dalam bahasa Jawa disebut disembret-sembret. Meninggal dengan mengenaskan karena raganya tidak utuh lagi dan dikebumikan di tempat itu juga. Sementara itu, Lembu Peteng, putra mahkota yang mengejar musuh pun terkecoh. Seorang mata-mata diam-diam memasuki pasukannya. Pada  saat yang tepat putra mahkota ini didorong masuk ke palung sungai. Seketika putra mahkota hilang tenggelam di sana.


Mendengar  kabar itu si cantik sangat berdukacita. Dia menangis dan berlari menuju puncak bukit. Ditumpahkan kesedihan dengan duduk termenung berhari-hari di tempat sepi tersebut. Tak dihiraukan kondisi raga yang kian kurus tak terurus. Digerainya rambut tanda sungkawa sebab sang pujaan telah tiada.


Joko Pinurbo tahu. Dicoba menghibur dan meluruhkan hatinya. Hampir setiap siang hingga senja si jelita dikunjungi di puncak bukit dan  diajak turun.


"Kalau Honey benar-benar cinta, sila bertapa di gunung sana!" Sang rupawan menunjuk sebuah gunung berseberangan dengan bukit itu.


"Mengapa harus di sana, Yayi?" tanya Pinurbo menyelidik.


"Agar aku bisa melihatmu dari sini!" Seulas senyum berkembang membuat jantung serasa berhenti berdegup.


"Oh, baiklah! Berapa lama aku harus bertapa? Aku ingin bersama, Yayi!" ujar jejaka tampan menginginkan kejelasan status. Tentu  saja tidak mau di-PHP dengan menjalani long distance relation semacam itu.


"Nanti Honey kupanggil dari sini. Coming soon!" pinta si jelita mengajuk manja.


"Yayi harus tetap stay di sini, ya! Aku  menghadap arah ke sini!" katanya berpamit menuju gunung di daerah Boyolangu itu.


"Siap, Honey," Si jelita menangkupkan dua telapak tangan di depan dada. Sesungging senyum berhias gingsul memesona dipersembahkan buat jejaka.


Pinurbo terpaku sejenak. Terhenyak  menikmati panorama indah di depannya. Aura swastamita pun merebak menghiasi bukit hingga view jingga merona. Dipungutnya sekuntum kamboja kuning di dekat kakinya, lalu disuntingkan ke telinga kiri gadis rupawan itu. Netra mereka bersitatap mesra.


Demikianlah perpisahan kedua sejoli itu. Konon ketika sang gadis memanggil-manggil pemuda tampan itu, karena jarak yang sangat jauh, tak didengarnya. Ditunggu berbulan lamanya, Pinurbo  tak pernah muncul. Karena jengkel sang perawan pun mengutuknya menjadi sebuah batu. Sementara si gadis tetap stay di tempat itu hingga tutup usia.


Itulah cerita mengapa perempatan menuju kota di sebelah utara terkenal dengan sebutan Cuwiri. Tempat Sang Adipati disiksa dengan raga di-suwir-suwir, dipotek-potek. Daerah itu pun terkenal dengan nama Kalangbret, konon dari kata Kalang meninggal dengan di-sembret-sembret alias dimutilasi hanya menggunakan tangan.


Salah satu jembatan di kota terkenal sebagai Jembatan Lembu Peteng. Sementara sebuah gunung cukup tinggi berhadapan dengan bukit di dusun Bolorejo itu terkenal sebagai Gunung Budheg karena Joko Pinurbo tak mendengar teriakan panggilan si gadis belia.
Di gunung itu terdapat batu menyerupai orang sedang duduk yang terlihat jelas dari atas bukit di sebelah barat daya. Batu itu dipercaya sebagai Joko Pinurbo yang sedang  bertapa menunggu panggilan si gadis. Namun, ketika dipanggil tak mendengar sebagaimana orang tuli atau budheg.


Bukit  dengan puluhan kamboja tempat si cantik tetap stay itu hingga kini masih kokoh. Sebuah  makam di puncak dipercaya makam Roro Kembang Sore yang melajang hingga tutup usia. Makam yang selalu bertabur sejuta bunga.

*** 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun