Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - mengisi usia senja dan bercanda dengan kata

Menulis sesuka hati, senyampang ada waktu, dan sebisanya saja

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Bukan Sekadar Bermimpi

12 Mei 2024   22:50 Diperbarui: 13 Mei 2024   06:21 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukan Sekadar Bermimpi
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Menyopiri kendaraan sendiri melewati perempatan Rampal seperti biasanya, hari ini menjadi berbeda. Kulihat seorang gadis sedang melintas melewati zebra cross tepat di depan kendaraanku. Lalu tiba-tiba ... ingatan melayang ke masa silam, catur dasawarsa silam!

Sungguh hal itu mengingatkan aktivitasku di tempat ini puluhan tahun silam! Ya, dulu ... dulu sekali ... akulah yang berjalan kaki. Namun, kini aku tidak pernah lagi berjalan kaki. Sebuah kendaraan mungil dan trendi setia menemaniku ke mana-mana. Bagaikan  menonton tayang ulang sebuah film kehidupan ... selama menunggu lampu merah berganti hijau, terlintaslah  flash back masa laluku.


"Jangan pernah bermimpi kalau kamu bisa kuliah! Arek wedok itu cukup belajar masak, nyuci, nyetrika yang bener, nggak usah muluk-muluk! Nggak usah mimpi, kamu!" teriaknya sinis sambil mlengos membuang muka. Bibir tipisnya pun mengerucut manyun!
Ya, ... masih  terpeta nyata tutur dan senyum sinis Budhe Lilik mencemooh ketika aku meminta kuliah di Malang saat itu. Kuambil napas dan kubuang perlahan,
"Ya, Allah ... alih-alih mendoakan ini malah merutuki. Tidak  bisakah menyemangati meski tidak membiayaiku?"


Hidup itu bagaikan kampus mahaluas dengan berbagai pelajaran yang harus dicermati dan diaplikasi dengan baik. Belajar dari sana, aku semakin dewasa di dalam menyikapi kehidupan ini. Kehidupan yang semula kelabu ungu dan berharap menjadi biru kemilau!

Pada tahun yang sama, tepatnya akhir tahun 1975, berbekal doa kakek nenek dan menyimpan perkataan sadis Budhe Lilik tersebut ingin kubuktikan bahwa aku bisa berkuliah di Kota Malang. Ambisi gadis desa dengan predikat juara pertama yang ingin membuktikan bahwa dia bisa melanjutkan pendidikan, tanpa memikirkan dana, sementara hanya mengandalkan daya! Bonek istilahnya! Namun, bukan kebetulan kalau salah satu saudara dari Surabaya datang dan mengajak ke Malang untuk mendaftarkan diri ke IKIP Malang.


Setelah mengikuti pendaftaran, sekalian menunggu pengumuman sekitar seminggu lagi, disarankan tinggal di rumah saudara yang dekat dengan kampus. Tidak pulang ke desa lagi. Ternyata, aku diterima. Selanjutnya, mengikuti aktivitas kampus dengan ikut nebeng alias ngenger pada keluarga tersebut. Pikirku, yang penting aku bisa kuliah. Satu semester saja di situ karena saudara yang kuikuti, pasangan paramedis bagian penyakit jiwa, menerima indekos dua orang pasien gangguan jiwa.


Tahu, 'kan? Bagaimana rasa ngenger itu? Mahasiswa termiskin dengan busana dan dandanan paling sederhana yang sedang berjibaku menggapai cita dan asa? Bisa membayangkan model penampilanku yang ala ndeso, 'kan? Sementara, di rumah saudara itu aku menjadi babu, mengerjakan apa pun yang harus kulakukan. Bersyukur, nilai indeks prestasi semester pertama melejit di atas tiga sehingga memperoleh beasiswa jenis Tunjangan Ikatan Dinas.


Semester kedua aku tidak tahan dengan perlakuan pasien yang selalu menggedor-gedor jendela kamar, tepatnya gudang, yang kutempati setiap malam. Belajar sambil ndremimil berdoa agar bisa keluar dari tempat tersebut. Allah mendengar doaku dengan mengirim saudara di kota sama menjemputku. Pasangan Pakdhe dan Budhe Budi dengan bungsu gadis usia terpaut dua tahun di bawahku. Sayang, rumah Pakdhe dan Budhe Budi ini lumayan cukup jauh dari kampus. Kalau sebelumnya hanya berjarak tiga ratus meter, kini menjadi enam kilometer tanpa ada angkutan umum. Karena itu, setelah pindah ngenger di rumah saudara ini, kakiku selalu memar membiru karena tiap hari berjalan kaki sekitar tiga belas kilometer pergi pulang.


"Ya, Allah ... mudahkanlah jalanku meraih mimpi!" tangisku mengayun langkah potong kompas melalui lapangan Rampal secara diagonal. Lapangan sangat luas dengan ilalang setinggi badanku saat itu.


Singkat cerita, semester lima tahun 1978 aku memperoleh jodoh. Arema. Arek Malang asli putra tunggal sehingga tidak perlu ngenger atau indekos, tetapi langsung ikut suami di rumah mertua indah. Namun, bom hatag pun masih bergulir menimpaku. Bom hatag istilah dalam mata kuliah Kewiraan ini merupakan akronim dari hambatan, tantangan, ancaman, dan gangguan itu datang silih berganti. Belum saatnya aku menikmati kenyamanan, tetapi harus mengalami ujian demi ujian untuk meningkatkan kualitas hidup dan kehidupan. Tuhan masih berkenan memprosesku melalui kesulitan demi kesulitan. Ujian kesabaran yang dibebankan kepadaku, kuyakini sebagai proses kenaikan tingkat sehingga harus kuhadapi dengan sabar dan tawakal. Ujian kesabaran merupakan ujian tingkat tinggi dalam kampus kehidupan, bukan?


Mertua memperkatakan tentangku dengan adik kandung beliau di dapur, sementara kamarku tidak jauh dari tempat itu. Dikata-katainya aku sebagai menantu yang tidak membawa apa pun. Datang hanya membawa (maaf) alat kelamin saja. Satu kata jorok, kata kotor, kosa kata Malang-an ini sungguh menohok ulu hati. Kalau istilah sekarang kena hinaan 'Mokondo' lah. 

Kuliah belum selesai, diajak menikah dan tinggal di rumah mertua, eh ... mertua memberikan signal lampu merah seperti itu. 


Rumah berbara bagai neraka yang membuatku bergelinjang dalam dukacita dan berkubang dalam danau tirta netra! Tiada hari tanpa air mata hanya karena kata tiada tertata!


"Aku mau kita kontrak rumah berdinding bambu asal damai dan tidak mendengar kata-kata itu!" rajukku pada suami kala itu.
Sejatinya suami ikut mendengar dan berusaha menetralisasi suasana, tetapi kata-kata keramat beliau sudah terlanjur merasuki memori hatiku. Bagaikan king guilette merajam sanubariku. Netra sayuku pun makin sembap karena dari muara kelenjar bercucuran tirta bening hangat mengaliri pipi tirusku.


 "Biarkanlah setelah lulus nanti aku bekerja. Jangan pernah melarangku bekerja. Akan kubuktikan bahwa aku bisa membeli sendiri rumah dan kendaraan!" isak dan tekadku di pelukan suami.


Di dada ini ada tekad membahana untuk menunjukkan bahwa, "Aku bisa!" karena itu, begitu memperoleh ijazah langsung aku berkiprah di beberapa tempat. Tidak puas dengan mengajar, sore hari aku masih memberi les privat hingga malam tiba. Berkeliling dari rumah ke rumah agar bisa mengumpulkan modal mandiri. Bahkan, sempat juga aku menjadi dosen terbang di salah satu perguruan tinggi swasta dengan mengajar luar kota.


Pekerjaan apa pun aku terima hingga membuka jasa pengetikan skripsi secara manual. Bisa tidak Anda membayangkan betapa aku bagai gasing? Pagi mengajar di salah satu sekolah swasta sebagai tenaga PNS diperbantukan, siang langsung berangkat ke luar kota sebagai dosen terbang, atau langsung memberikan les privat berpindah-pindah dari satu rumah ke rumah lain?

Beruntung suami memahami keinginan dan mendukung sepenuhnya sehingga kewajiban mengurus rumah tangga dibantu oleh salah seorang saudara sepupu dari pihak suami. Itulah sebabnya aku bebas mengais rezeki ke sana kemari.


Tahun pertama pernikahan, lahir buah hati kami yang berturut-turut diikuti kelahiran kedua adiknya. Selama enam tahun pernikahan, kami telah dianugerahi tiga buah hati. Semua lelaki yang kemudian hari kami ketahui memiliki intelegensi tinggi.

Ketika usia pernikahan dua puluh lima tahun, suami memberikan surprise. Dimintanya aku dan ketiga buah hati kami membuka celana panjang wool kenang-kenangan. Ternyata isinya uang ratusan ribu, berjumlah seratus lima puluh juta rupiah! Ahh, ... suamiku yang mantan pegawai bank ini malah menabung di kaki celana panjang yang dilipat sederhana di dalam almari! Ya, Allah ...

Saat itu sebagai kenang-kenangan, kami mewujudkan mimpi untuk memiliki rumah yang kesekian karena bertekad untuk memberi anak masing-masing sebuah rumah agar mereka tidak dihina mertuanya seperti yang kualami!


Tuhan Mahakaya dan Mahakasih! Tuhan sungguh welas asih, dalam hal ini kepadaku yang beberapa kali terhina!
Sakit hati yang kusikapi positif alias  'nglara ati'  itu membuahkan hasil. Perkataan, tepatnya hinaan, Budhe Lilik -- istri pertama ayah kandungku -- telah kubuktikan. Bahwa aku tidak sekadar bermimpi untuk menjadi sarjana, tetapi bahkan hingga magister!


Selanjutnya, perkataan mertua yang kusebut 'kata keramat' yang kutanggapi dengan keinginan membekali ketiga anak sesuatu dalam menyongsong pernikahan pun telah tertunai sudah. Masing-masing jagoan kami, atas berkat Tuhan Yang Mahakaya, telah kami hadiahi sebuah rumah agar bisa ditinggali ketika berumah tangga. Ternyata, mereka malah sudah memiliki rumah dengan hasil jerih payah sendiri. Setidaknya, sudah kami buktikan bahwa anak-anak tidak sekadar membawa (maaf) alat kelamin saja saat menikahi pujaan hatinya. Jangan sampai istilah 'mokondo' itu terulang disampaikan oleh calon atau mertua mereka. Sungguh, sakitnya tuh di sini ... tetapi bersyukur, bisa kuhadapi dengan arif. Bahkan kugunakan sebagai pemacu dan pemicu semangat juang meraih asa dan cita.


Nah, ternyata kesabaran dalam menanti belas kasih Tuhan itu diuji dengan berbagai cara. Salah satunya melalui hinaan. Bukan berasal dari orang lain, melainkan justru berasal dari dalam keluarga besar kita. Oleh karena itu, biarlah kita tetap bersabar menghadapi kondisi apa pun dalam kampus kehidupan ini. Kiranya Tuhan yang menjadi sandaran dan harapan kita, menguatkan kita menapaki lika-liku kampus kehidupan, amin ....

Malang, akhir tahun 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun