Dua hari tidak ada kabar tentang Duria, suaminya. Bahkan hingga sebulan kemudian. Duria seolah hilang ditelan bumi.
Suatu sore sang punggawa datang kepadanya untuk yang kedua kalinya. Eunoia dipesan agar membawa busana seperlunya karena diminta menginap di istana raja.
"Paman, suami hamba belum pulang juga. Apakah hamba harus mengikuti perintah Tuanku Raja?" tanyanya sambil berurai air mata.
Pertanyaan yang tidak memperoleh jawaban sebab kereta kuda sudah disiapkan untuk menjemput. Mau tidak mau, ia harus mengikuti perintah sang Raja.
Sesampai di istana, Eunoia disambut sang Raja dan dibawanya ke ruang khusus untuk kedua kalinya. Kaki Eunoia gemetaran, tetapi ia harus melakukan apa yang menjadi sabda raja.
Dua hari Eunoia berada di kamar istimewa tersebut. Hatinya sangat gundah. Apa yang akan dikatakan kepada suami jika pulang nanti? Merasa tidak punya muka karena dirinya telah menjadi gundik raja. Beberapa pegawai istana pun maklum sehingga mereka hanya diam melihat Eunoia berada di istana atau pulang ke rumah pribadinya.
Sebulan, dua bulan. Tidak ada  kabar tentang suami yang berada di medan laga. Hingga Eunoia mendapat panggilan untuk datang ke istana yang ketiga kalinya.
Bagaikan palu godam tatkala didengar berita bahwa suaminya tidak akan pernah pulang karena telah gugur di medan laga. Sementara di perutnya sudah hadir janin yang entah milik siapa Eunoia tidak tahu. Entah putra Raja ataukah benih Duria sang suami. Yang Eunoia tahu, dia hamil muda.
"Aku yang bertanggung jawab, Yayi. Karena itu aku akan menikahimu!" sabda Raja yang tidak bisa ditolak dan dibantahnya.
"Ya, Tuanku Raja!" sembah Eunoia sambil terduduk di kaki sang Raja. Air matanya terburai membasahi kaki sang Raja.
"Hamba hamil, ya Tuanku!" sembahnya. Ini membuat Raja sangat bahagia karena selama ini ia menginginkan keturunan. Namun, sang Ratu dinyatakan mandul.