MEMBERDAYAKAN Â KOMIK Â SEBAGAI Â MEDIA Â PEMBELAJARAN
Oleh: Ninik Sirtufi RahayuÂ
Mohon maaf, izin mendaur ulang artikel lama. Siapa tahu masih bisa dimanfaatkan. Â
Komik yang selama ini acapkali mendapat perlakuan kurang baik, dalam artian mendapat penilaian negatif ini dapat didayagunakan. Baik orang tua maupun guru biasanya kurang 'respek' terhadap siswa yang membawa apalagi membaca komik. Padahal, meskipun dilarang, siswa tetap menyukai komik ini. Secara terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi mereka akan tetap melahap komik ini sebagai sarana intermezo dan refreshing setelah jenuh mengikuti pelajaran seharian.
Komik  dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1989:542) didefinisikan sebagai cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang umumnya mudah dicerna dan lucu. Menurut Atmowiloto (1982) komik adalah suatu bentuk seni yang menggunakan gambar-gambar tidak bergerak yang disusun sedemikian rupa sehingga membentuk jalan cerita. Biasanya komik dicetak di atas kertas dan dilengkapi dengan teks. Komik dapat diterbitkan dalam berbagai bentuk, mulai dari strip dalam koran, dimuat dalam majalah, hingga bentuk buku tersendiri. Secara gampang, komik ini dapat disimpulkan sebagai cerita bergambar dalam majalah, surat kabar, atau berbentuk buku yang umumnya mudah dicerna dan lucu.
Secara awam, seringkali orang tua melarang putra-putrinya membaca komik karena dianggap sebagai hal yang dapat mengganggu konsentrasi belajar. Padahal, komik ini tidak selalu bernilai negatif, dapat menjadi sarana refreshing bagi siswa untuk menghilangkan kejenuhan ataupun mengisi waktu luang, dan dapat memberi inspirasi untuk mencipta karya sastra. Bahkan, ditinjau dari segi proses pembelajaran komik ini dapat dimanfaatkan sebagai sarana dan media pembelajaran.
Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terdapat beberapa kompetensi dasar, yakni membaca, menulis, mendengarkan, berbicara, dan apresiasi sastra. Semua kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh siswa tersebut harus dikemas secara apik dan sarat strategik. Menyajikan semua kompetensi tersebut  memerlukan strategi khusus. Membelajarkan siswa disarankan dengan memanfaatkan media yang sesuai dengan  PAIKEM,  yakni Pembelajaran yang Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan. Secara khusus penulis akan mengemukakan pemanfaatan komik sebagai media pembelajaran dalam meningkatkan kompetensi menulis khususnya menulis cerpen.
Berdasarkan pengalaman di lapangan, siswa seringkali mengalami kesulitan dalm menerapkan ejaan (EYD). Misalnya, penggunaan tanda baca koma, tanda kutip, huruf kapital, dan sebagainya. Mestinya kemampuan tersebut telah dimiliki dan dikuasai sejak kelas 4 SD. Namun, entah mengapa, saat duduk di kelas 8 atau 9 SMP pun siswa kurang menguasainya.
Secara teoretis, menulis merupakan salah satu kemampuan berbahasa yang sangat penting dan bermanfaat karena dapat mendorong seseorang untuk berkreasi, menyelesaikan studi, menyelesaikan administrasi perkantoran, dan tugas tulis lainnya. Kemampuan menulis ini tidak dikuasai secara otomatis, tetapi perlu dipelajari secara sadar dan sistematis serta diikuti dengan pelatihan yang intensif. Karena itu, kemampuan menulis ini harus dibina sejak siswa duduk di tingkat sekolah dasar, sampai mereka di perguruan tinggi.
Selain itu, menulis juga merupakan kemampuan kompleks yang melibatkan berbagai aspek kebahasaan, antara lain penguasaan kosa kata, pemahaman tentang kalimat dan paragraf, penggunaan ejaan, dan kaitan unsur yang satu dengan unsur lainnya dalam membentuk suatu pesan secara utuh. Pembinaan  dan pelatihan menulis harus menjadi upaya serius yang selalu ditinjau ulang dan diperbaiki agar siswa memiliki kompetensi secara maksimal.
Dalam kaitan pembelajaran apresiasi sastra diperlukan berbagai jenis materi sastra baik prosa, puisi, maupun drama. Materi  sastra (misalnya cerpen) sebagai bagian dari pembelajaran bahasa Indonesia ini, sebenarnya sangat mengasyikkan. Selain mengandung nilai-nilai moral, sosial, etika, estetika, budaya, dan agama materi sastra tersebut juga dapat memperhalus budi pekerti, menambah wawasan, dan sarat pengetahuan. Guru harus memiliki jurus jitu dalam pembelajaran agar suasana kelas menjadi hidup dan tidak texbooks  belaka. Salah satu upaya menyiasati agar siswa senang dan materi tersampaikan secara menyenangkan adalah dengan menggunakan komik.
Penulis pernah melaksanakan penelitian tindakan kelas dengan menggunakan komik sebagai upaya meningkatkan kemampuan menulis kalimat langsung dialog cerpen. Hal yang melatarbelakangi penelitian tersebut, salah satunya adalah karena siswa kurang mampu menuliskan kalimat langsung dialog dalam cerpen. Dengan memanfaatkan komik yang dialog pelakunya berada pada balon kata, siswa diminta mengubah menjadi dialog yang ditulis dalam jenis kalimat langsung.
Menulis dialog antartokoh ini bukan merupakan hal mudah bagi siswa. Karena itu, menuliskan dialog dalam bentuk kalimat langsung dan tidak langsung inilah yang harus dijelaskan secara detail, baik melalui ceramah informatif maupun lewat contoh konkret. Hal ini berkaitan dengan penerapan ejaan, baik penempatan tanda baca koma, kutip, maupun penggunaan huruf kapital.
Apa yang dikatakan pelaku pada komik biasanya dikemas dalam balon kata. Mengubah balon kata pada komik menjadi kalimat langsung sebagai dialog antartokoh inilah yang menjadi sasaran pemanfaatan komik sebagai media dan sarana pembelajaran.
Siswa  diminta mengubah cerita di dalam komik menjadi cerpen dengan memperhatikan penulisan kalimat langsung sebagai dialog antartokoh. Dengan menggunakan komik (yang mengandung 'balon kata' sebagai materi dialog antartokoh) ini kemampuan siswa dalam menulis kalimat langsung dialog antartokoh pada cerpen dapat diasah dan ditingkatkan. Siswa tinggal menyalin isi kalimat pada balon kata, ditulis kembali isi kutipan itu dengan diawali huruf kapital, kemudian ditambahkan tanda kutip pada awal dan akhir kalimat tersebut. Nah, jadilah dialog yang ditulis dengan kalimat langsung. Mudah,  bukan?
Jika yang diutamakan adalah membuat cerita narasi, komik tersebut juga dapat dimanfaatkan. Dalam hal ini, setelah membaca komik, siswa diminta menulis ulang plot pada cerita komik dalam bentuk narasi. Mereka  tidak perlu memperhatikan dialog pada komik yang berada di dalam balon kata. Bebas  menggunakan versi mereka secara pribadi. Dengan demikian, siswa (mungkin sebagai pemula) yang semula blank, tidak memiliki ide cerita, dapat dengan mudah menuliskan cerita berdasarkan cerita pada komik. Komik pun telah menepis ketidakberanian siswa dalam menuliskan sebuah cerpen.
Jika di antara siswa ada yang pandai menggambar apalagi gambar model kartun, siswa tersebut dapat dimotivasi untuk mengembangkan bakat dan hobinya. Dengan menjadi kartunis, kelak siswa tersebut dapat memiliki keterampilan khusus yang dapat mendatangkan rezeki.
Pemanfaatan komik dalam pembelajaran ternyata membawa dampak positif. Siswa lebih kreatif dan berani menuangkan idenya secara variatif. Mereka mencoba-coba mengubah dan atau menambah dialog dengan kalimatnya sendiri. Dengan demikian, komik ini telah berjasa menggugah kreativitas dalam berimajinasi. Karenanya, melarang siswa membawa dan atau membaca komik dapat berarti membunuh kreativitas siswa. Biarlah kita ikuti kesenangan siswa dalam berkomik ria ('tut wuri handayani'), namun kita modifikasi sehingga sang komik mampu berdaya guna, mampu memacu dan memicu aktivitas bersastra! Nah, siapa takut membawa atau membaca komik?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H