Entah, nasibnya sedang tidak beruntung saja. Slamet dijebloskan ke dalam penjara karena wajahnya tertangkap CCTV di suatu ATM. Wajah yang sama dengan wajahnya itu sedang menguras saldo milik seorang bapak tua. Padahal, Slamet tidak tahu-menahu.
Suatu saat Slamet ditangkap ketika berada di pasar bersama teman kenek. Mereka hendak memastikan pedagang yang akan memasok pisang dan hasil bumi lain.
Tiba-tiba, tiga orang polisi menangkap, memborgol, dan membawanya ke kantor kepolisian. Tidak ada yang bisa menyelamatkan karena wajah di CCTV itu memang mirip sekali dengan wajahnya. Slamet sudah membantah, teman keneknya pun sudah menjelaskan bahwa Slamet selalu bersamanya, bahkan teman sopir pun sudah menjelaskan kepada para polisi, tetapi tetap tidak diindahkan. Bukti rekaman CCTV sudah merebak viral sehingga Slamet tidak bisa berkutik.
Hasilnya, Slamet dijebloskan dengan hukuman sepuluh tahun penjara. Ia berontak, ia tidak terima. Sebagai wujud dari pemberontakan batinnya itu, ia berencana melakukan sesuatu. Dua hari lalu, Slamet menerobos ikut pengunjung penjara untuk bisa kabur dari penjara. Hatinya sungguh tidak terima. _Uneg-uneg_ ini pun disampaikannya kepada teman-teman yang berkunjung, terutama untuk juragannya.
"Siapa yang bisa membela saya?" pertanyaan yang selalu digumamkan dengan mata berkaca-kaca.
Bunyi tokek di dinding bangunan rusak di dekat rumpun pandan tempatnya bersembunyi sementara itu mengagetkannya. Slamet harus segera beranjak pergi sebelum pagi. Maka malam itu, sambil mengendap-endap dilanjutkannyalah pelariannya.
"Ya, Allah, selamatkanlah Slamet ...!" ujarnya dengan gemetar. "Ya, Allah, selamatkanlah pelarian Slamet untuk mencari selamat ini. Bantulah Bapak-bapak polisi untuk menemukan penjahat yang asli. Ya, Allah ... !" senandikanya menerobos pekat malam.
"Ya, Allah ...," air matanya mengalir deras, kakinya pun melangkah dengan supercepat meninggalkan kawasan itu melalui jalan kecil, jalan alternatif, entah menuju ke mana. Ia hanya memercayakan diri berpasrah diri kepada Allah yang dipercayai memiliki kehendak baik kepadanya.
Napas Slamet masih ngos-ngosan, tetapi tidak dihiraukannya. Ia tetap berjalan menerobos gelap malam. Kalaulah berhenti, hanya ketika kakinya sudah lelah dan ada tempat untuk beristirahat sejenak misalnya pos atau gardu penjagaan yang sedang kosong. Ia berjalan tanpa memedulikan dingin nan menggigilkan badan. Ia ingin mencari keadilan dan keselamatan ....
Untunglah tak pernah dijumpainya seorang pun dalam pelarian. Lalu ketika diraba, di saku masih sisa sedikit uang yang kemarin diberikan oleh teman yang membesuk. Masih bisa digunakan membeli baju rombeng dan nasi esok hari. Namun, Slamet bertekad hendak mengubah penampilan. Besok ia harus mencari pasar, membeli baju rombeng agar orang tidak mengenali lagi. Untunglah sampai dua hari ia masih selamat dan ia berharap tetap akan memperoleh keselamatan seperti nama yang disematkan orang tua kepadanya.
***