Biasanya, aku sering mabuk jika naik bus umum karena perjalanan melalui jalanan berliku tajam. Karena itu, aku lebih memilih naik kereta api. Jalur rel kereta lebih tenang, aman, dan nyaman dengan melewati dua terowongan. Dengan demikian, perjalanan tidak membuatku mabuk. Hanya saja jam perjalanan kereta api sehari hanya dua kali dan lebih lambat. Perjalanan total hampir selama lima jam. Belum lagi dari stasiun menuju rumah masih harus naik angkutan umum lain. Saat itu belum ada angkutan kota sehingga umumnya menggunakan dokar atau becak dengan ongkos lebih mahal.
Sebenarnya, dengan naik bus ongkos lebih murah, lebih cepat, dan lebih mudah karena langsung melewati depan rumah. Sayang sekali, jalur bus melalui pegunungan dengan kondisi jalan sangat sulit, berliku, dan sempit.
Trayek bus ini terkenal melalui Waduk Karangkates dengan kondisi jalan sempit dan bertikungan tajam. Jika sopir kurang berpengalaman, penumpang yang tidak kuat dapat dipastikan mabuk dan tumpah-tumpah. Aku sendiri, ketika ada penumpang yang tumpah dengan menebar aroma khas, dapat dipastikan isi perut laksana adonan kue sedang di-mixer dan ingin keluar pula. Menanggung beban rasa malu yang jelas!
Kali ini, demi menghindari jalanan berliku itu, aku terpaksa pulang naik kereta api. Kutenteng tas besar berisi pesanan ibuku berupa alat-alat dapur seperti dandang, soblukan, panci tiga ukuran, wajan, dan panci susu. Cukup berat sebenarnya. Namun, peralatan dapur tersebut berbahan dasar alumunium tebal bekas tempat obat rokok yang direkayasa sedemikian rupa oleh bapak pemilik indekos tempatku tinggal. Sambil membawa dagangan seperti itu, ongkos perjalanan pulangku tertutupi. Dandang atau soblukan itu semacam magic com. Alat masak ini sangat disukai para sahabat ibuku karena berbahan tebal. Kuat dan awet. Maka, aku pun dengan sukacita membawa barang dagangan buat ibuku. Pikirku, sekalian belajar berdagang juga. Demikian juga pesan ibuku.
"Nggak apa-apa Ndhuk. Kowe numpak dandang! Idhep-idhep blajar dadi juragan!" Â Ibuku membesarkan hatiku dengan mengatakan bahwa biarlah tidak masalah seolah kamu naik panci dan dandang karena laba pennjualan itu sebagai ongkos pulang. Dimintanya aku menganggap sebagai latihan untuk menjadi pengusaha.
Karena membawa barang-barang tersebut, agak kesulitan aku untuk naik ke gerbong. Beruntung ada dua orang pemuda berseragam tentara yang melihatku kesulitan dan langsung membantu sehingga aku bisa memperoleh tempat duduk dengan nyaman.
Ketika bertanya jawab alamat rumah, kuketahui bahwa salah satu pemuda tersebut ternyata masih bersaudara jauh denganku. Masa kecil dulu kakek sering meminta untuk bertandang ke rumah mereka sekadar mengantarkan ini itu. Karena itu, obrolan kami selama dalam perjalanan sangat menyenangkan. Bisa  kulupakan cerita cinta senduku dengan seseorang yang mulai hari itu resmi menjadi "mantan".
Pengalaman pulang kali ini awalnya kupikir menyedihkan ternyata berubah drastis oleh kehadiran teman baru. Bersyukur sesampai di stasiun terakhir, teman saudara jauhku itu, dijemput keluarga sehingga aku pun beroleh tumpangan sampai rumah.
Pengalaman ini mengajarku agar tidak terpaku pada masa lalu. Tidak  perlu kurisaukan masa depan. Pasti seiring perjalanan waktu akan ada cerita lain. Tentu akan hadir orang lain penghias lembar diary dan pengukir kisah indah sejarah baru. Tidak  boleh berkecil hati meski seseorang tidak membersamai lagi.
Menyitir  motto salah satu layanan jasa, "Don't worry be happy!" senandikaku sambil tersenyum tipis.
"Thanks a lot, my Lord!" Â Kuedarkan pandangan ke sekeliling, "All it's okey!"