Pulang Sendiri
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Â
Pulang adalah satu kata yang sangat dirindu dan didambakan ketika seseorang berada di luar rumah. Demikian juga denganku. Namun, kepulanganku kali ini terasa sangat menyedihkan. Bagaimana tidak? Kalau sebelumnya selalu berdua dengan si Mas, kali ini harus pulang seorang diri. Itu karena orang tampan mirip Sophan Sofyan itu  tidak bisa memenangkan hatiku di hadapan orang tuanya.
Konon adiknya lima orang. Dia putra kedua, tetapi lelaki pertama sehingga otomatis harus ikut bertanggung jawab menanggung ekonomi keluarga. Â Kakaknya masih kuliah, sementara lima adiknya pun bersekolah berurutan mulai dari SMA, SMP, dan seingatku bungsu masih kelas dua SD.
Sejak  beberapa tahun terakhir ayahnya sakit-sakitan sehingga hanya bundanyalah tiang keluarga. Beliau seorang guru sekolah dasar yang harus pontang-panting melayani les privat demi menyambung biaya hidup.
Itulah sebabnya beasiswa si hitam manis bercambang lebat itu sering dikirim kepada orang tuanya. Sementara, untuk memenuhi kebutuhan hidup selama kuliah, dia bekerja sambilan mulai dari loper koran hingga mengajar di salah satu sekolah swasta. Karena  ketidakmampuan membayar indekos, oleh dosen penasihat diizinkan tinggal di salah satu perumahan dosen yang masih kosong.
Bulan lalu ketika kutanya mengenai hubungan kami, idolaku itu hanya mengatakan tidak bisa membantah kemauan orang tua. Mereka menginginkannya lulus tanpa terbeban pacaran. Mendengar alasan tersebut, meskipun berat, aku harus menerimanya. Aku bertekad akan belajar melupakan dan mengubur kisah sendu `cintaku.
"Mungkin bukan jodohku!" senandikaku. Oleh karena itu, mau tidak mau aku harus merelakan kepergiannya. Kali ini harus tanpa air mata. Haram rasanya ditolak calon mertua secengeng anak play group ditinggal mamanya pulang!
Kami memang berasal dari kota yang sama. Sebuah kota kecil berjarak tiga empat jam perjalanan dari tempat kami kuliah. Karena itu, jika libur semester, selama menjalin hubungan, kami selalu pulang bersama-sama.
Saat pulang bersama itulah kami menikmati kebersamaan. Bisa duduk bersisian, saling bercerita meskipun hanya sekitar tiga empat jam selama dalam perjalanan. Namun, hari-hari biasa selama kuliah, jangankan bersama, bertemu pun seminggu sekali. Itu karena kami berdua sama-sama sibuk. Dia bekerja sambilan, aku pun bekerja juga di sela kuliah.