Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Molen

25 April 2024   13:30 Diperbarui: 25 April 2024   13:31 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Molen 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

"Ma, saiki ayah Priadi kerja ndhik molen!" lapor keponakan sekaligus mantan siswa memberitahukan pekerjaan sang ayah.

"Wah, syukurlah. Yang penting masa sekarang jangan sampai menganggurlah. Kemarin aku melihat tayangan di Reel Instagram pengepul minyak jelantah saja bisa laba jutaan, loh!" sambutku.

"Iya, sih. Tergantung masing-masing orang yang menjalani, ya Ma!"

"Benar banget. Kalau ada kemauan pasti ada jalan!"

Jeda beberapa hari, tetiba suami menanyakan padaku tentang hal itu.

"Ma, coba tanyakan berapa modal awal kalau mau bikin molen!"

"Lah, kan yang sering beli molen ... Papa. Kenapa harus aku yang tanya?" jawabku polos.

"Loh, maksudku ... kalau bertanya ke saudara, kan enggak segan, toh! Kalau aku bertanya ke pedagang langganan, kayaknya kurang etis, deh. Apalagi, jualannya laris manis kayak gitu. Pasti di tengah keramaian ketika aku datang bertanya, apa mungkin dia menjawab jujur?" dalihnya.

"Iya juga, sih. Orang Jawa masih punya adab malu. Padahal, malu bertanya sesat di jalan!" gurauku.

"Lah, kan kita bisa tanya Mbah Google!" jawab suami dengan maksud melucu.

"Oh, GPS toh maksudnya? Google Positioning System?"

"Iya, hehe ... tapi beberapa kali kita disesatkan juga, sih, ya. Tahun lalu sama sulung, saat ke Batu, ... eh ... dilewatkan jalan tikus. Malah jembatannya sedang perbaikan sehingga harus putar balik. Sementara, minggu lalu sama si tengah ketika ke Tulungagung juga ngaco. Jembatannya sempit enggak bisa roda empat. Nyebelin  banget, kan? Sama saja menyesatkan! Hehehe ...," protesnya.

"Iya, memang mending tanya sama masyarakat sekitar, sih, ya. Sistem konvensional saja hehehe," sambutku.

"Ya, wes. Mama coba menanyakan ke Mariska saja. Aku yakin pasti mereka mau kasih bocoran," usulnya.

"Memang, siapa sih yang mau dagang molen?" selidikku.

"Ya, ancer-ancer saja. Si tengah 'kan mau bikin usaha bakso gerobakan di Jakarta. Kalau molen seenak langganan kita di pasar Bunul, kayaknya lumayan untungnya. Bayangkan, satu pisang jadi sekitar 20 potong molen mini harga lima ratusan. Berarti kan satu pisang sudah tampak tuh sepuluh ribu rupiah!"

"Belum pertepungan, telur, gas, rombong atau gerobak, dan mesin gilingnya. Modalnya lumayan juga!"

"Iya, sih!"

***

"Ndhuk, ini Papa tanya, berapa perkiraan modal ayahmu kalau kerja molen?" kutanyakan ke keponakan perihal pekerjaan ayahnya via telepon.

"Loh, ya ... kan cuma modal diri saja, Ma! Seperti biasa, ayah kan kerja di proyek. Nah, saat ini dapat bagian di mesin molen pengecoran karena rumah yang ditangani katanya rumah tingkat, Ma. Harus ngecor lantai bagian atas!"

"Hah? Sebentar ... ayahmu bukan dagang molen pisang?"

"Lah ... kok  molen pisang sih, Ma? Kan ayahku kerja di proyek perumahan dari dulu! Ahaha ... Mama pasti salah paham ini, kan?" 

Aku terperangah dan tak lama kemudian tertawalah kami berdua.

"Owalaahh ... iya, iya. Paham!"

"Truk molen pengaduk semen pengecoran, Ma! Mama, sih pikirannya makanan melulu!"

"Ahahaha! Serupa, tapi tak sama!"

"Kan Mama pernah ngajar tentang homonim, toh? Kena, deh! Ahahaha ...."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun