Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Aplikasi Ameliorasi dalam Bersosialisasi

13 April 2024   19:57 Diperbarui: 13 April 2024   19:59 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aplikasi Ameliorasi dalam Bersosialisasi

Ninik Sirtupi Rahayu

 Sebagai makhluk sosial, manusia tidak bisa tidak harus bertemu, bergaul, dan bersosialisasi satu dengan yang lain. Dalam bersosialisasi ini akan terjadi komunikasi yang dijembatani oleh adanya bahasa, baik bahasa ibu maupun bahasa kedua, bahkan bahasa isyarat sekalipun bagi penyandang tunarungu ataupun tunawicara. Inilah fungsi utama bahasa dalam mencapai tujuan yang sebenarnya.

Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia terdapat materi perubahan makna sebagai materi kebahasaan sejak di kelas VIII SMP. Pada materi itu disajikan aneka perubahan makna, di antaranya adalah meluas, menyempit, peyorasi, dan ameliorasi. Jika peyorasi adalah makna yang mengalami perubahan ke arah negatif, ameliorasi  sebaliknya. 

Ameliorasi tersebut dimaknai sebagai suatu kata yang memiliki muatan makna  lebih positif, lebih baik, dan dianggap paling santun, etis, atau bermoral. Misalnya saja kata 'bini' yang dahulu biasa dan wajar dikatakan oleh siapa pun, kini dianggap kurang etis, dan disarankan diganti dengan yang lebih etis dan santun yakni kata 'istri'. Demikian pula 'kenaikan harga' akan lebih santun jika dikatakan 'penyesuaian harga'.

Selain pepatah, "Bahasa menunjukkan bangsa", dalam peribahasa Jawa pun terdapat peribahasa, "Ajining diri dumunung ono ing lathi" yang kurang lebih berarti melalui bahasa yang dipergunakan seseorang akan diketahui dari kelompok mana ia berasal dan dari bahasa pulalah seseorang akan memperoleh  penghargaan, penghormatan, serta apresiasi.

Walaupun berprofesi sebagai pengayuh becak, seseorang akan dipandang berbudi luhur, santun, dan berkarakter jika ia menggunakan bahasa secara santun. Sebaliknya,  profesi yang lebih tinggi dan layak disegani jika ia secara sembarangan bertutur, orang yang mendengar perkataannya akan merasa risih dan pada akhirnya muncul rasa kecewa. Di sinilah pentingnya membekali diri dengan tutur  santun terhadap siapa pun yang kita temui, kita ajak berkomunikasi, serta bersosialisasi.

Berangkat dari pemahaman itu pula, sejak duduk di bangku pendidikan dasar kepada siswa disajikan materi kebahasaan tersebut agar pembicaraan yang dipergunakan sehari-hari makin santun. Akan tetapi, acapkali di lapangan, guru --  khususnya guru Bahasa Indonesia, Bahasa Jawa, PKn, dan Pendidikan Agama secara bersinergi -- harus ekstraketat memperhatikan perkembangan bahasa lisan yang dipergunakan siswa dalam berkomunikasi.

Pengalaman yang penulis lihat dan alami di lapangan diketahui bahwa masih banyak siswa yang kurang mengaplikasikan pemahaman dan pengetahuannya tentang ameliorasi ini. Sumpah serapah dan kata-kata kotor, yang entah diekspor dari lingkungan mana, seringkali terdengar di sela-sela gurauan siswa di luar, bahkan di dalam kelas. Di sinilah peran aktif guru yang kebetulan mendengar langsung, harus secara cepat tanggap dengan memperbaiki sebelum terlanjur menjadi kebiasaan.

Guru menjadi tokoh sentral, sosok yang layak diteladani, dan figur identifikasi bagi siswanya. Apa yang disampaikan guru semestinya adalah kata-kata yang membangun, mencerahkan, dan menjadi anutan. Ungkapan-ungkapan yang disajikan terutama di depan kelas adalah kata-kata bijak yang membekas di hati nurani para siswa, seolah kata mutiara yang menjadi kesan mendalam selama hayat. Dengan demikian seharusnya tidak ada lagi kata "goblok, bodoh, ataupun malas" (yang diiringi emosi bertegangan tinggi), melainkan harus diubah atau diameliorasikan menjadi "kurang pandai, belum cerdas, dan tidak rajin", (dengan kecerdasan emosi prima sehingga tidak terjadi miskomunikasi).

Meskipun sebenarnya maknanya adalah sama saja, yang membedakan adalah soal 'perasaan' ketika si pendengar harus mendapatkan kata-kata tersebut dari pembicara. Dengan dikatakan secara lebih etis tentulah siswa tidak akan sakit hati atau malah memberontak, apalagi jika gaya mengucapkan dan menyampaikannya gaya bercanda. Dengan demikian kata-kata bijak yang kita sampaikan kepada siswa itu dapat memacu dan memicu semangat belajarnya, menyugesti, dan memotivasi siswa sehingga pada gilirannya dapat meningkatkan prestasi mereka.

Secara psikologis, kata-kata makian dan kemarahan yang dimanipulasi melalui ameliorasi lebih bijak dan layak disajikan di depan siswa sebagai punishmen, penghargaan, atau apresiasi sehingga mereka merasa di'orang'kan, dipedulikan, dan dihargai. Hasilnya pemanfaatan ameliorasi tersebut secara gampang dan gamblang dapat dikatakan 'makin merasuk ke dalam sanubari'. Nah, sangat manusiawi, bukan?

Di masyarakat pendayagunaan ameliorasi tersebut terkesan untuk menutupi kesalahan atau kekurangan yang ada. Misalnya di sebuah swalayan jika kita menanyakan kepada para pramuniaga tentang produk yang kita cari dan tidak kita ketahui keberadaannya, mereka berkilah dengan mengatakan, "Maaf, baru kemarin habis. Kami masih memesan kepada pihak ketiga. Lusa mudah-mudahan sudah terkirim, silakan Anda datang kembali". Padahal, barang tersebut sebenarnya memang tidak ada pada mereka. Ameliorasi diberdayakan sebagai alasan klasik agar pelanggan tidak kecewa, bahkan sebagai trik pemasaran belaka alih-alih mengatakan 'tidak ada'.

Demikian pula jika kita mendengar sebuah perusahaan yang terpaksa memecat, memberhentikan, atau mem-PHK karyawannya, kita harus mengatakannya sebagai "merumahkan". Kenaikan TDL haruslah kita katakan sebagai 'penyesuaian' TDL. Terkesan lebih halus dan terdengar lebih etis!

 Bagaimana pun kenyataannya, ameliorasi memang patut kita pikirkan sebelum berujar. Pikir itu pelita hati, kata pepatah pula. Tujuannya agar responden, audien, ataupun lawan tutur dapat menerima pesan kita secara lebih etis, lebih bermoral, dan sangat bermartabat. Dengan demikian kesalahpahaman yang memicu pertengkaran, pertikaian, dan perpecahan dapat diminimalisasi dan pada akhirnya akan terjalin kerukunan, perdamaian, dan persatuan antarsesama serta antarwarga negara.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun