Secara psikologis, kata-kata makian dan kemarahan yang dimanipulasi melalui ameliorasi lebih bijak dan layak disajikan di depan siswa sebagai punishmen, penghargaan, atau apresiasi sehingga mereka merasa di'orang'kan, dipedulikan, dan dihargai. Hasilnya pemanfaatan ameliorasi tersebut secara gampang dan gamblang dapat dikatakan 'makin merasuk ke dalam sanubari'. Nah, sangat manusiawi, bukan?
Di masyarakat pendayagunaan ameliorasi tersebut terkesan untuk menutupi kesalahan atau kekurangan yang ada. Misalnya di sebuah swalayan jika kita menanyakan kepada para pramuniaga tentang produk yang kita cari dan tidak kita ketahui keberadaannya, mereka berkilah dengan mengatakan, "Maaf, baru kemarin habis. Kami masih memesan kepada pihak ketiga. Lusa mudah-mudahan sudah terkirim, silakan Anda datang kembali". Padahal, barang tersebut sebenarnya memang tidak ada pada mereka. Ameliorasi diberdayakan sebagai alasan klasik agar pelanggan tidak kecewa, bahkan sebagai trik pemasaran belaka alih-alih mengatakan 'tidak ada'.
Demikian pula jika kita mendengar sebuah perusahaan yang terpaksa memecat, memberhentikan, atau mem-PHK karyawannya, kita harus mengatakannya sebagai "merumahkan". Kenaikan TDL haruslah kita katakan sebagai 'penyesuaian' TDL. Terkesan lebih halus dan terdengar lebih etis!
 Bagaimana pun kenyataannya, ameliorasi memang patut kita pikirkan sebelum berujar. Pikir itu pelita hati, kata pepatah pula. Tujuannya agar responden, audien, ataupun lawan tutur dapat menerima pesan kita secara lebih etis, lebih bermoral, dan sangat bermartabat. Dengan demikian kesalahpahaman yang memicu pertengkaran, pertikaian, dan perpecahan dapat diminimalisasi dan pada akhirnya akan terjalin kerukunan, perdamaian, dan persatuan antarsesama serta antarwarga negara.  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H