Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Penulis novel: Centini, Gelang Giok, Si Bocil Tengil, Anyelir, Cerita Cinta Cendana, Rahim buat Suamimu, dll.

Masih terus-menerus belajar: menulis, menulis, dan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Semut

11 April 2024   15:25 Diperbarui: 11 April 2024   15:27 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Belajar dari Semut 

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

Masih terngiang penggalan lagu anak, "Banyak semut di rumahku ... gara-gara aku malas bersih-bersih ..."  Penggalan lagu yang benar-benar menyindir. Betapa tidak! Semut dengan berbagai jenis, warna, dan ukuran nebeng tinggal di rumah kami gratis! Ada  sekitar tujuh jenis semut mulai yang kecil hingga yang sebesar ngangrang. Sayang, penulis tak begitu paham penamaan masing-masing spesies. Hehe ... belum berkenalan dengan keluarga si semut, sih!

Ada semut begitu kecil yang jika merambat di kulit kita tidak merasakan kehadirannya. Tahu-tahu sampai di lipatan kulit persendian menggigit. Kaget dan cukup menyakitkan! Ada pula semut mirip ngangrang dengan ukuran badan kecil, transparan, dan begitu lincah. Semut ini beredar di sekitar pepohonan, bahkan memenuhi ruang kosong engsel pintu mobil.

Suatu saat, tengah malam saat enak-enaknya nonton TV, di bawah TV ada semacam pasir berjatuhan. Eh, ... ternyata di sela-sela bufet tempat TV itu tersembunyi sarang kawanan semut bersayap berukuran agak besar. Waduh! Malam indah menjadi kacau karena harus segera 'membereskan' sarang itu. Ratusan semut pun terkena semprotan Baygon!

Heran, mengapa mereka begitu banyak, padahal menaburkan kapur semut pun hampir setiap hari kami lakukan. Rasanya semut-semut itu telah meneror rumah kami. Di tiap sudut aman, tiba-tiba saja ada kotoran semut itu. Termasuk di sela-sela jok kursi mobil. Aduhai!  Sampai-sampai keluarga kami menamai 'stasiun semut' sebagaimana nama stasiun kereta api di Surabaya. Ahahaha .... Bahkan, jika anak-anak dari tempat stay  masing-masing menelepon, pasti menanyakan tentang semut ini!

Daripada stres tinggal di rumah bersama semut akhirnya kami 'menikmatinya'. Bagaimanapun mereka juga berhak hidup. Kami berpikir, pasti di sela keburukan ada pula kebaikannya. Lalu kami memikirkan bagaimana adat istiadat semut dalam hidup karena penasaran mendengar kata bijak dari seseorang yang menghibur kami saat berkeluh kesah tentang semut itu, "Hai pemalas, datanglah kepada semut dan jadilah bijak!" Wah, ....

Beberapa hal penting penulis catat mengenai kebaikan semut ini, di antaranya adalah ramah, rajin, dan rukun. Tiga hal yang perlu kita terapkan sebagai prinsip hidup. Ya, masakan kita kalah dengan semut?

Sekilas, jika para semut bertemu, mereka saling memedulikan satu dengan yang lain. Begitu ramah, seolah-olah saling menyapa dan bersalaman antarsesama semut. Meski mungkin secara ilmiah sedang menularkan 'bau' makanan untuk diikuti. Selanjutnya, sesudah bersalaman antarsesama semut berbaris dengan rapi mengikuti yang berada di depannya dengan jalur tertentu. 

Seolah tak kenal lelah untuk mencari sesuatu yang dapat dibawa pulang ke sarang. Remah-remah apa pun termasuk bangkai semut yang berukuran lebih besar daripada tubuhnya sendiri. Mereka bergotong-royong, berbondong-bondong, dan beriring-iringan menuju liang di tempat tertentu. Benar-benar work a holic yang perlu dicontoh!

Saat menjadi pelajar dan mahasiswa kita pasti mengingat pepatah: "Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya". Nah, semut begitu rajin bekerja mempersiapkan dan menimbun bekal makanan mereka sebelum musim hujan tiba. Makanan yang mereka peroleh ditumpuk dalam gudang sebagai lumbung pangan musim hujan agar tidak kelaparan ataupun kurang gizi. 

Tidak kenal lelah dan tanpa dikomando si semut pekerja melakukan tugas dengan baik. Di sarang, mereka pun berbagi tugas. Ada semut perawat yang bertugas merawat telur hingga selamat dan dapat menetas. Ada jenis semut penjaga gerbang, pelayan, dan lain-lain. Semuanya melaksanakan tugas masing-masing tanpa protes dan tidak ada yang mogok kerja, demonstrasi,  ataupun berkeluh kesah.

 'Rukun,' merupakan kata kunci keberhasilan mengerjakan sesuatu secara berkelompok. Rukun dapat menginspirasi menjadi tim yang solid di dalam menuntaskan pekerjaan apa pun, termasuk dalam berumah tangga. Jika rukun antara suami isteri, tentu tidak akan ada kasus perselingkuhan dalam bidang apa pun. Berselingkuh dalam asmara, berselingkuh dalam segi ekonomi alias berkorupsi, dan lain-lain. Berselingkuh dalam asmara menjadikan bahtera keluarga kita pecah berantakan. 

Apalagi jika telah dikaruniai anak. Anak-anak yang hadir karena cinta itu tiba-tiba saja terempas sehingga akan tumbuh tanpa kasih sayang kedua orang tua. Bisa-bisa broken home yang memicu broken heart pula, kan? Diakui ataupun tidak, tumbuh kembang anak menjadi timpang. 

Luka batin akan menggores hebat dalam waktu cukup lama hingga dampak psikis pun luar biasa. Jika artis cantik Marshanda mengalami goncangan jiwa, dapat dimaklumi  karena kedua ortu berpisah. Demikian pula yang penulis rasa dan alami sehingga bisa menceritakan tanpa embel-embel 'katanya,' atau 'kata orang.'

Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah. Jika dalam berkeluarga kita rukun, tentulah rumah tangga kita 'selamat' sebagaimana doa para sesepuh saat pernikahan, dadio kaken-kaken ninen-ninen. Menikmati  perjalanan berkeluarga hingga mengantar anak-anak memasuki bahtera rumah tangga dan beranak cucu pula. Melampaui  kawin perak, apalagi kawin emas, alangkah bahagia.

Rukun dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara juga merupakan kata kunci kesuksesan. Jika hanya gara-gara masalah sepele  kita bertengkar, beradu mulut apalagi hingga beradu fisik, semuanya bisa hancur lebur. Rumah yang kita dirikan dengan susah payah karena memakan dana cukup besar, dengan mudah hancur karena perseteruan antarwarga, antarkelompok, atau antarkampung. Tip  agar tetap rukun dengan siapa pun, jangan hendaknya mengingat apalagi membesar-besarkan keburukan/kekurangan seseorang, tetapi ingatlah di balik itu pasti ada kebaikan juga.

Kita  tak lagi mendengar istilah P4 (Penghayatan dan Pengamalan pada Pancasila). Beberapa tahun silam istilah ini marak dengan penataran atau perlombaan. Sebenarnya, tanpa indoktrinasi secara ekstrem, harusnya kita sadar dan ikhlas melaksanakan dan mengamalkan Pancasila. Namun, Pancasila sebagai pedoman hidup itu tak lagi nyanthol kecuali sebagai bahan pelajaran di sekolah. Pelaksanaan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari belum mendarah daging dan masyarakat pun perlu pencerahan agar mengingat komitmen berbangsa itu.

Andai mengingat "Persatuan Indonesia" mestinya tidak ada lagi tawuran atau kericuhan antarwarga. Yang  terjadi dan diberitakan baik lewat media cetak maupun elektronika, kericuhan yang dipicu masalah apa pun terjadi di mana-mana. Artinya,  masyarakat sudah tak lagi memiliki kerukunan. Andai  segala sesuatu diselesaikan dengan "Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan" tentu tak terjadi tawur massal dan kisruh.

Jika tahun 1945 arek-arek Suroboyo tidak rukun, tentulah para pahlawan tidak berhasil mengusir penjajah dari bumi Indonesia. Peristiwa Mallaby 10 November 1945 itu terjadi karena kerukunan. Bayangkan, ribuan pemuda dari seluruh Jawa Timur tumplek blek di Surabaya mempertaruhkan jiwa raga. Mereka tidak saling mengenal, loh! Berjuang tanpa pamrih demi kemerdekaan Indonesia! Hebat, kan?

Bagaimana sekarang? Apakah kita masih memiliki 'kerukunan' itu? Apalagi saat dikaitkan dengan maraknya peng-klaim-an berbagai produk Indonesia oleh negeri jiran. Nah, apakah kita masih harus bertengkar dan berantem mempermasalahkan perkara intern tanpa memedulikan bahwa kita pun sedang 'dipermainkan' negara lain? Perasaan andarbeni, angrungkebi, angroso wani perlu kita tanamkan sejak dini di benak dan otak generasi muda. 

Jangan sampai keropos di dalam karena ketidakrukunan itu hingga dimanfaatkan pihak luar untuk menghancurleburkan bangsa Indonesia dengan mudah. Penjajah  pernah memorakporandakan kita dengan metode memecah belah dan politik adu domba. Ingat pula filosofi sapu lidi, yang jika sebiji dan tanpa diikat  tali tak dapat dimanfaatkan. 

Nah, kita perlu belajar pada kebaikan semut itu! Bagaimana? Masa kalah dengan hewan kecil itu, sih? Hehe ... serius ada segan dan malu. Apalagi jika kita bertanya kepada semut merah, nih! Kok semut, sih? 

"Malu, aku malu pada semut merah. Yang berbaris di dinding menatapku curiga ...," kata Obbie Messakh. 

Walaupun beda masalah karena Obbie Messakh sedang menanti pacar, tetap saja si semut bisa menjadi contoh analogi, bukan?  

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun