Sedikit Tentang Rokok
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Rokok memang menimbulkan pro dan kontra. Benda yang satu ini susah-susah gampang diatur. Jika dilarang, akan berdampak sosial dan ekonomis bagi masyarakat. Namun, secara medis nyata-nyata mampu menjadi pemicu munculnya penyakit pembunuh terbesar kedua setelah serangan jantung.
Meski pada tiap bungkus kemasan rokok dan pada tiap-tiap iklan yang terpampang tertulis akibat merokok antara lain dapat menimbulkan berbagai penyakit berbahaya seperti kanker dan kemandulan, toh... tidak menyiutkan nyali siapa pun. Dari  kakek-kakek hingga kanak-kanak  (kalau saja bisa) diharap menjadi perokok.
Bagi pengusaha pabrik rokok, jika masyarakat Indonesia menjadi perokok (berat) merupakan keuntungan yang tiada tara. (Bukan rahasia lagi jika pengusaha rokok ini menjadi penyumbang terbesar pemasukan daerah!) Selain itu, pabrik rokok pun mampu menyerap jutaan pekerja. Artinya, jika pabrik rokok ditutup, bakal ada jutaan orang pula yang terpaksa nonjob dan akan menambah jumlah panjang pengangguran yang sudah sekian juta di negeri ini.
Di dalam asap rokok terkandung zat kimia berbahaya seperti tar dan nikotin yang jika telanjur masuk ke dalam tubuh tak gampang membuangnya. Zat karsinogen pemicu kanker ini yang takdapat dilihat mata ini terpaksa dihirup oleh justru bukan perokok itu sendiri. Korbannya adalah perokok pasif.  Suka atau tidak suka, mau tidak mau perokok pasif ini terpaksa 'menikmati' asap buangan sarat racun karena kebetulan berada di lingkungan perokok. Terpaksa,  telanjur, tidak  dapat berbuat banyak, dan serba salah. Areal  bebas rokok (area khusus untuk merokok) pun, kalau ada, sangat terbatas. Tidak semua kantor memiliki ruang khusus ini.
Di  sekolah, sosok pendidik (dan karyawan) merupakan tokoh identifikasi bagi siswa. Pegawai di lingkungan pendidikan sebaiknya memang bukanlah perokok. (Bahkan, salah satu kriteria pemilihan guru/kepala sekolah teladan adalah tidak merokok). Namun, kenyataannya tidak demikian dan diakui banyak pihak bahwa kebiasaan merokok ini sulit dihentikan meski obat yang dapat membantu menghentikannya gencar diiklankan. Nah, jika pendidik (yang notabene berpendidikan tinggi) tersebut perokok, mestinya tahu diri di mana tempat pantas untuk merokok dan menghormati orang-orang yang tidak suka akan asap rokoknya.
Dunia pendidikan (baca: sekolah) merupakan institusi strategis untuk memberitahu dan sekaligus memberi contoh konkret kepada siswa bahwa hidup tanpa rokok adalah sehat. Bukankah seharusnya 'hidup tanpa asap rokok' tidak hanya dilakukan dalam sehari yakni saat peringatan hari tanpa asap rokok?
Â
Karena memang cukup dilematis, seyogyanya masalah rokok ini disikapi dengan arif dan cendekia. Bagi para pengusaha rokok, hendaknya selalu menguji kandungan asap rokok yang dihasilkan dan mencari solusi agar (kalau bisa) rokok yang dihasilkan tanpa asap. Para  petinggi negara dari tingkat pusat hingga daerah berkenan memberi teladan bijak, sementara para perokok pun semakin arif dan tahu diri.  Tidak  sembarangan menikmati rokok kesayangannya apalagi mengepulkan asap rokoknya di sembarang tempat adalah solusi cerdas.
Harus diingat (dengan arif) bahwa  asap tersebut akan dapat merugikan orang lain. Para  perokok pasif pun harus mendapat hak dan perlindungan untuk memperoleh oksigen sehat. Ketika asap knalpot dan cerobong pelbagai pabrik sudah kian tak terkendali, 'ruang terbuka hijau' yang bebas polusi sangat minim, di manakah kita dapat menghirup oksigen sehat itu? Bukankah (andai bisa berbicara) paru-paru kita pun membutuhkan pasokan oksigen sehat yang bebas polutan?