Sisi Lain dari Swalayan Â
Oleh: Ninik Sirtupi Rahayu
Â
Di negara-negara maju segala sesuatu dilakukan dengan mudah dan cepat tanpa melibatkan banyak personalia. Untuk melakukan berbagai hal, kita cukup memasukkan koin, memencet tombol yang sesuai pada panel, kemudian muncullah apa yang kita kehendaki. Misalnya, hendak membeli minuman, masukkan koin, pencet tombol pilihan, muncullah minuman sesuai selera. Demikian pula saat membutuhkan tiket untuk melakukan perjalanan. Semacam mesin ATM-lah! Semua serba dilakukan mesin. Mudah dan memudahkan, memang! Namun, coba mari kita lihat dari sisi lain!Â
Terinspirasi dari sistem mekanisasi dan robotisasi tersebut, istilah swalayan pun mengindonesia. 'Swa' yang berarti sendiri mengantarkan kata 'swalayan' identik dengan melayani diri sendiri, mandiri, bahkan berdikari.
Fungsi pasar tradisional yang mengedepankan interaksi sosial antara pedagang-pembeli kian pudar. Tergusur dan tergeser oleh maraknya supermarket dan mall yang makin menjamur. Supermarket yang kemudian diindonesiakan sebagai 'pasar swalayan' telah memanjakan pembeli karena komoditas yang ditawarkan dapat dipilih langsung tanpa melibatkan peran serta pedagang. Nyaris tanpa 'bahasa perdagangan' seperti yang terjadi di pasar tradisional, pasar yang meriah dan seru oleh lengking bahasa tawar-menawar yang khas.
Supermarket  dan mall  pun menjadi wahana rekreasi. Melihat-lihat, memilih-milih, dan menentukan sendiri barang yang dibutuhkan sangat mengasyikkan. Aktivitas ini dapat menjadi sarana refreshing bagi ibu rumah tangga. Keluar sejenak dari rutinitas kesehariannya. Telu (tiga) UR, sumur -- dapur -- kasur, merupakan tugas wajib para ibu yang menyita waktu.
Nah, ... belanja ke pasar swalayan inilah saatnya untuk cuci mata. Apalagi jika tempat belanja tersebut sedang promo dan cuci gudang. Namun, prinsip 'skala prioritas' harus tetap dipegang dan diberlakukan. Membeli barang yang sedang sale pun resep mujarab. "Teliti sebelum membeli", adalah tips ajaib, praktis, dan  tetap representatif agar jangan kecolongan membeli yang kurang berfaedah hanya untuk sekadar gengsi atau pemuas hati. Sebab, bila tidak demikian, isi dompet yang pas-pasan bakalan kobol-kobol. Apalagi, saat libur sekolah seperti sekarang, 'mengencangkan ikat pinggang' masih tetap menjadi nomor wahid karena kebutuhan akan pendidikan buah hati pun tak dapat dikesampingkan.
Istilah 'swalayan' demikian mengglobal sehingga urusan apa pun, kapan pun, dan di mana pun dapat tertangani dan teratasi. Pekerjaan dan urusan di rumah dapat dilakukan secara swalayan. Jika  zaman dulu seorang istri harus menyiapkan baju kantor lengkap dengan dasi plus menyemir sepatu untuk sang suami, sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Sementara sang istri sibuk bebenah karena juga sebagai karyawati, suami harus tahu diri dan mampu melakukannya secara mandiri.Â
"Swalayan ...!" bisik lembut sang istri sambil tersenyum.
Karyawan  suatu instansi dituntut mampu melaksanakan tugas apa pun tanpa berharap pertolongan teman. Keterampilan potensial standar harus dimiliki. Saat masing-masing sibuk dengan aktivitasnya, seorang karyawan dituntut mampu melakukan segala tetek bengek secara mandiri. Misalnya, saat membutuhkan data tertentu, harus mem-print out data tersebut, karyawan tersebut tidak dapat lagi mengandalkan jasa dan meminta tolong teman dengan seenak perut. Tentu karena alasan 'swalayan'. Andai tidak mampu mengoperasikan komputer, wah... bisa celaka dua belas! Bisa-bisa kita mendapat julukan 'katrok'. Dan... lagi-lagi 'swalayan' menjadi senjata ampuh untuk memacu dan memicu pemenuhan kebutuhan pengembangan profesionalitas pekerjaan. Namun, nilai kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan kerja sama nan guyub pun bisa jadi semakin luntur jika kata 'swalayan' ini semakin menggurita.