Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Sisi Lain dari Swalayan

9 April 2024   07:19 Diperbarui: 9 April 2024   07:27 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Sisi Lain dari Swalayan  

Oleh: Ninik Sirtupi Rahayu

 

Di negara-negara maju segala sesuatu dilakukan dengan mudah dan cepat tanpa melibatkan banyak personalia. Untuk melakukan berbagai hal, kita cukup memasukkan koin, memencet tombol yang sesuai pada panel, kemudian muncullah apa yang kita kehendaki. Misalnya, hendak membeli minuman, masukkan koin, pencet tombol pilihan, muncullah minuman sesuai selera. Demikian pula saat membutuhkan tiket untuk melakukan perjalanan. Semacam mesin ATM-lah! Semua serba dilakukan mesin. Mudah dan memudahkan, memang! Namun, coba mari kita lihat dari sisi lain! 

Terinspirasi dari sistem mekanisasi dan robotisasi tersebut, istilah swalayan pun mengindonesia. 'Swa' yang berarti sendiri mengantarkan kata 'swalayan' identik dengan melayani diri sendiri, mandiri, bahkan berdikari.

Fungsi pasar tradisional yang mengedepankan interaksi sosial antara pedagang-pembeli kian pudar. Tergusur dan tergeser oleh maraknya supermarket dan mall yang makin menjamur. Supermarket yang kemudian diindonesiakan sebagai 'pasar swalayan' telah memanjakan pembeli karena komoditas yang ditawarkan dapat dipilih langsung tanpa melibatkan peran serta pedagang. Nyaris tanpa 'bahasa perdagangan' seperti yang terjadi di pasar tradisional, pasar yang meriah dan seru oleh lengking bahasa tawar-menawar yang khas.

Supermarket  dan mall  pun menjadi wahana rekreasi. Melihat-lihat, memilih-milih, dan menentukan sendiri barang yang dibutuhkan sangat mengasyikkan. Aktivitas ini dapat menjadi sarana refreshing bagi ibu rumah tangga. Keluar sejenak dari rutinitas kesehariannya. Telu (tiga) UR, sumur -- dapur -- kasur, merupakan tugas wajib para ibu yang menyita waktu.

Nah, ... belanja ke pasar swalayan inilah saatnya untuk cuci mata. Apalagi jika tempat belanja tersebut sedang promo dan cuci gudang. Namun, prinsip 'skala prioritas' harus tetap dipegang dan diberlakukan. Membeli barang yang sedang sale pun resep mujarab. "Teliti sebelum membeli", adalah tips ajaib, praktis, dan  tetap representatif agar jangan kecolongan membeli yang kurang berfaedah hanya untuk sekadar gengsi atau pemuas hati. Sebab, bila tidak demikian, isi dompet yang pas-pasan bakalan kobol-kobol. Apalagi, saat libur sekolah seperti sekarang, 'mengencangkan ikat pinggang' masih tetap menjadi nomor wahid karena kebutuhan akan pendidikan buah hati pun tak dapat dikesampingkan.

Istilah 'swalayan' demikian mengglobal sehingga urusan apa pun, kapan pun, dan di mana pun dapat tertangani dan teratasi. Pekerjaan dan urusan di rumah dapat dilakukan secara swalayan. Jika  zaman dulu seorang istri harus menyiapkan baju kantor lengkap dengan dasi plus menyemir sepatu untuk sang suami, sekarang hal itu tidak berlaku lagi. Sementara sang istri sibuk bebenah karena juga sebagai karyawati, suami harus tahu diri dan mampu melakukannya secara mandiri. 

"Swalayan ...!" bisik lembut sang istri sambil tersenyum.

Karyawan  suatu instansi dituntut mampu melaksanakan tugas apa pun tanpa berharap pertolongan teman. Keterampilan potensial standar harus dimiliki. Saat masing-masing sibuk dengan aktivitasnya, seorang karyawan dituntut mampu melakukan segala tetek bengek secara mandiri. Misalnya, saat membutuhkan data tertentu, harus mem-print out data tersebut, karyawan tersebut tidak dapat lagi mengandalkan jasa dan meminta tolong teman dengan seenak perut. Tentu karena alasan 'swalayan'. Andai tidak mampu mengoperasikan komputer, wah... bisa celaka dua belas! Bisa-bisa kita mendapat julukan 'katrok'. Dan... lagi-lagi 'swalayan' menjadi senjata ampuh untuk memacu dan memicu pemenuhan kebutuhan pengembangan profesionalitas pekerjaan. Namun, nilai kesetiakawanan sosial, gotong royong, dan kerja sama nan guyub pun bisa jadi semakin luntur jika kata 'swalayan' ini semakin menggurita.

Seiring kemajuan zaman, (jangan-jangan) istilah swalayan menjadi alasan untuk mengganti 'tidak mau melayani orang lain' alias 'layanilah dirimu sendiri'! Seorang suami harus mau dan mampu masak sendiri, bikin kopi sendiri, mencuci dan menyeterika baju, serta memadupadankan dasi sendiri karena istri sibuk dengan urusan rumah tangga plus urusan dinasnya. Atau di rumah mungkin keluarga menerapkan model 'prasmanan' yakni harus mengambil sendiri nasi di rice cooker dan lauknya di lemari karena istri yang telah menikmati hikmah emansipasi. Hal-hal begini kemungkinan akan menjadi hal lumrah!

Tebersit juga sebuah tanya, "Lalu, apa tujuan pernikahan jika segala sesuatu harus dilakukan secara sendiri-sendiri?"

Tantangan bagi setiap orang tua untuk mempersiapkan putra-putrinya agar mampu melaksanakan semua tugas hidupnya secara mandiri. Mendidik dan melatih putra-putri untuk dapat mengurus diri sendiri merupakan tindakan antisipasi yang cerdas terhadap perubahan zaman. Dengan demikian, kelak putra-putri kita tidak canggung melaksanakan semua tugas mereka. Mulai bangun tidur hingga kembali tidur di malam hari, semua hal harus mampu dilakukannya secara mandiri dan berdikari. Tidak tergantung pada dan bergantung kepada orang lain.

Dengan istilah mampu ber'swalayan' tersebut pasangan beda etnis, khususnya beda negara yang tertayang melalui medsos macam reel dan tik tok pun tampak bahagia. Dengan tanpa canggung sang suami memasak, mencuci, dan membantu mengasuh putra-putri. Sungguh, sempat membuat iri, kan? Sementara, ada juga bagian masyarakat yang beranggapan bahwa memasak dan mengasuh anak adalah tugas dan tanggung jawab seorang ibu. 

Nun, di seberang sana ... sejak usia kanak-kanak tidak dibedakan gender untuk melakukan hal apa pun. Merupakan kelebihan yang sangat penulis kagumi! Tidak ada kata atau istilah, "Memasak dan mencuci piring kotor adalah tanggung jawab istri! Sang suami pun tanpa segan ikut cancut taliwondo untuk membantu sang istri dengan sukacita! Embrio penanaman tugas mulia dengan tanpa membedakan gender! Salut!      

 Itulah barangkali tuntutan zaman yang serba swalayan yang harus ditanamkan juga kepada para putra-putri kita! 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun