Makna di Balik Sebuah TanyaÂ
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Â
 "Tak kenal maka tak sayang."
Berangkat dari pepatah ini, penulis memasuki kelas baru di bimbingan belajar tempat bertugas sore hari. Dengan minta maaf dan tanpa bermaksud pamer atau sombong, penulis memperkenalkan diri sebagai ibu dari tiga anak lelaki. Penulis tak bosan-bosan bersyukur ke hadirat-Nya atas keberhasilan mereka. Sulung karyawan bank ternama yang dikuliahkan beasiswa ke mancanegara, kedua akuntan di ibukota negara yang dipekerjakan di negeri jiran, dan bungsu sebagai dokter pun berkesempatan dikuliahkan berbeasiswa ke mancanegara.
Penulis memotivasi para siswa: jika anak-anak penulis berhasil, tentu para siswa pun bisa berhasil. Syaratnya, tri-T, yakni tlaten, tliti, dan tekun dalam belajar dan berlatih materi atau soal yang disajikan Bapak/Ibu guru, baik di sekolah maupun di bimbingan belajar.
Tiba-tiba, salah seorang siswa 'nyeletuk', "Suaminya berapa, Bu?" Â
Terus terang, penulis kaget. Waow... pertanyaan 'luar biasa'! Para siswa menanggapi dengan berbagai reaksi. Kelas gaduh. Ada yang berteriak; ada pula yang tertawa ngakak. Mungkin, mereka menganggap pertanyaan konyol itu lucu!
Rileks penulis jawab, "Nak, Ibu kan hanya seorang guru, bukan artis. Berapa sih, gaji guru yang 'pahlawan tanpa tanda jasa' ini? Apakah dua puluh lima juta sebagaimana gaji anggota DPR? Tak sebanyak itu, kan ... Nak? Bahkan, Ibu pun masih harus mengajar sore hari agar dapat membiayai kuliah anak-anak! Jam tidur siang  Ibu korbankan dan selama bertahun-tahun selalu Ibu gunakan untuk mengais rezeki di tempat ini. Jadi, ... tentu suami ibu 'hanya satu'!"
Mendengar jawaban merendah, lemah lembut dibarengi senyum, canda, gaya jenaka, dan 'tekanan' pada kata tertentu ini rupanya berhasil membuat mereka terhenyak.
Kelas pun sepi mendadak! Suatu shock terapy yang jelita, kan? Andai penulis (guru) marah, apalagi menghukum secara badaniah, jelas tak bijak. Ujung-ujungnya, bisa jadi, guru juga yang dimejahijaukan, to? Mending langsung menohok di ulu hati secara psikis seperti ini. Lebih edukatif dan efektif!Â
"Santai, tetapi sampai" pada tujuan paedagogis. Hasilnya? Siswa terpana dan terdiam seribu bahasa! Nah, ....
Pembaca yang budiman! Jika berada pada posisi penulis, tentu Anda pun memiliki bermacam penafsiran terhadap pertanyaan siswa SMP tersebut. Gurauan, ejekan, Â sindiran, atau apa? Jika mengedepankan emosi, bisa jadi penulis tersinggung dan marah. Apalagi, saat itu penulis bekerja nonstop pagi hingga sore. Kelelahan fisik dapat menyulut kemarahan. Beruntung, penulis mampu meredam emosi dan menguasai situasi.
Saat masih bersekolah dulu, jangankan bertanya seputar daerah prive seperti itu, bertanya tentang materi yang belum dipahami saja begitu segan dan takut. Ya, zaman telah berubah. Sekarang, pada era globalisasi dan transparansi dituntut keterusterangan dan keterbukaan.
Pertanyaan  itu dapat dikatakan sebagai pertanyaan 'biasa', realisasi keterbukaan alias 'blak-blakan'. Siswa tak terbebani rasa bersalah. Sah-sah saja! Atau bisa juga merupakan refleksi era reformasi dan demokrasi yang bebas menyuarakan isi hati.
Terlalu polos, masih kanak-kanak? Itu juga, bisa jadi! Ataukah cuma bercanda belaka? Jika benar, itu kelakar tak wajar! Namun, terlepas dari semua, pertanyaan tersebut menggelitik sanubari. Mengapa  bertanya seperti itu? Apakah karena pengaruh media cetak dan elektronika yang saban hari menyajikan gosip perceraian para artis dan selebritis? Apa yang salah?Â
Mengapa siswa bisa tergelincir pada pertanyaan menggelitik, tetapi kurang cantik seperti itu? Beribu pertanyaan berkecamuk di benak dan otak, bukan?
Pendidikan etika dan tata krama (maaf) harus menjadi prioritas di tengah-tengah keluarga agar putra/putri kita mampu bersosialisasi dan bermasyarakat dengan menjunjung harkat dan bermartabat. Mampu berkomunikasi interpersonal secara cerdas, berkualitas, elegan, anggun, dan santun serta memiliki kualitas IQ, EQ, dan SQ seimbang dan selaras.
Kendala yang harus terkendali adalah keterbatasan waktu. Karena pelbagai tuntutan, kedua orang tua pun bekerja. Intensitas  pertemuan antara anak dan orang tua sangat minim. Tak ada waktu untuk berdiskusi, berbagi cerita suka atau duka, dan bercanda dengan keluarga. Dampaknya, anak kurang memahami bagaimana mereka harus bersikap dan bertanya secara santun kepada orang yang lebih tua, lebih dewasa, dan bahkan kepada guru yang harusnya dihormati.
Anak tak paham bagaimana bersikap, bertutur, dan bertingkah laku secara etis, agamis, dan manusiawi karena orang tua tak punya kesempatan menyampaikannya baik secara eksplisit maupun implisit. Kesalahan bukan pada si anak; semata-mata karena kekurangpahaman terhadap nilai rasa, bahasa, dan etika.
Sungguh, dalam hati penulis miris. Mari kita cermati kembali bagaimana pola asuh yang kita terapkan di dalam keluarga. Jangan  sampai mereka melontarkan pertanyaan sembrono terhadap orang lain, hanya karena kita tak pernah punya waktu untuk memberitahukan dan mencontohkonkretkan tata cara dan tata krama pergaulan itu. Jangan pula putra/putri kita mendapat cap "kurang ajar" karena tak teratur bertutur atau tak wajar berujar. Kita pesankan wanti-wanti kepada putra/putri kita agar mereka selalu menjaga nama baik keluarga. Kita jaga semoga kita tidak menjadi malu oleh ulah dan ujaran buah hati kita.Â
Sejatinya, apa yang dilakukan dan dituturkan putra/putri kita sebenarnya cerminan bagaimana kita melakukan dan menuturkan sesuatu kepada mereka. Demikian para pewicaksana mengingatkan kita. Bagaimanapun  kita (para orang tua) adalah tokoh identifikasi bagi putra/putri kita. Tokoh yang diteladani dan disegani! Nah, apa pun posisi kita, saatnya berintrospeksi dan berbenah diri ....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H