KUCING vs MANUSIA
Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu
Budaya Jawa mengajarkan bahwa jika kita menabrak seekor kucing di jalan raya, kita wajib mengubur 'bangkai' kucing itu. Bahkan, mengafaninya sebagaimana layaknya manusia yang sedang meninggal. Jika tidak melakukan hal itu, konon si penabrak akan mengalami malapetaka alias kuwalat. Entah mitos atau benar-benar harus seperti itu, kami pun memercayai dan mencoba menerapkan budaya tersebut.
Suatu saat kami berombongan dengan beberapa mobil untuk bepergian ke Mojokerto. Tiba-tiba mobil rombongan yang berada di depan mobil kami menabrak seekor kucing. Tanpa  peduli mitos ataupun bukan, kami pun menerapkan budaya Jawa di atas.
Sementara, entah tahu atau tidak tahu, tidak seorang pun di antara penumpang mobil di depan kami itu yang turun untuk menengok bagaimana keadaan kucing yang tertabrak. Merasa sangat kasihan dan bertanggung jawab, mobil kami yang berada di belakangnya dan yang mengetahui peristiwa tragis itu terjadi di depan mata kami, langsung berinisiatif berhenti, turun, untuk melihat keadaan.
Kami melihat seekor kucing yang mungkin syok atau terluka berada di rerumputan pinggir jalan. Setelah memastikan kucing itu tidak mati dan tidak cedera, kami melanjutkan perjalanan. Wah, ... leganya bukan main melihat si kucing njranthal melarikan diri. Kami terbebas dari ritual mengafani dan mengebumikannya sebagaimana layaknya manusia!
Andaikata hal tersebut dilaksanakan oleh setiap pribadi, tentulah tidak ada 'bangkai' kucing tertabrak sembarangan di tepi jalan. Nah, ... itu perlakuan untuk hewan, yang sebenarnya tidak lebih terhormat dibanding manusia. Kita mesti memiliki rasa 'peri kekucingan'!
Bagaimana coba jika yang tertabrak adalah manusia? Betapa banyaknya kasus tabrak lari! Dus, artinya kita yang disebut manusia sebagai ciptaan-Nya yang paling sempurna ini tidak memiliki rasa welas asih, tepo seliro, tanggung jawab dan 'peri kemanusiaan' (Maaf, apakah karena tidak memiliki rasa kemanusiaan itu bisa disebut bukan manusia, ya? Bingung juga!).
Padahal, seperti tertuang dalam teks Pancasila sila kelima "Kemanusiaan yang adil dan beradab', artinya kita harus memperlakukan manusia sebagai sesama kita secara beradab dan tidak secara biadab. Ini pun sudah kita pahami sejak di sekolah dasar. Bukankah jika nilai PKn kita kurang dari enam alias hancur kita tidak naik kelas? Kita hafalkan sejak di sekolah, tetapi seringkali kita lupakan dan tidak kita terapkan setelah kita tidak lagi bersekolah!
Menabrak seseorang di jalan raya, terlepas dari kesalahan siapa, adalah wajib untuk menengok bagaimana keadaan korban yang tertabrak. (Kita yakin semua memiliki hati nurani untuk melakukan hal seperti ini to?) Kadang-kadang, sepintas korban kita anggap tidak apa-apa, dalam keadaan baik-baik karena hanya luka lecet biasa, eh ... ternyata tanpa kita ketahui si korban penderita diabetes. Akibatnya, 'luka biasa' yang bagi orang awam lusa juga kering dan sembuh, bagi pengidap diabetes mellitus bisa menjadi pemicu ke arah yang lebih fatal, amputasi jika luka itu di bagian anggota gerak tangan dan kaki, bahkan hingga kematian.
Oleh karena itu, akan lebih sopan, lebih etis, lebih bijak jika setelah menabrak, paling tidak kita melihat keadaan korban sekaligus meminta maaf sebagai bentuk kepedulian dan solidaritas kita serta sebagai wujud penerapan terhadap agama kita masing-masing. Bukankah semua agama mengajarkan dan mewajibkan kita saling menghargai, menghormati, dan mengasihi?
Jika menabrak kucing saja kita harus memiliki dan menerapkan tata krama dan etika, bukankah lebih-lebih terhadap manusia yang memiliki sejuta rasa dan hati yang bukan pualam, kita pun harus lebih manusiawi?
Entah karena takut menanggung risiko dari segi keuangan atau apa, seringkali yang terjadi adalah 'tabrak lari'. Karena semakin banyaknya jumlah pengendara sepeda motor dan sarana jalan yang tidak pernah bertambah, hampir setiap hari di setiap ruas jalan terjadi kecelakaan. Mulai dari 'cuma bersenggolan' hingga kecelakaan maut sekalipun, yang kita dengar dan saksikan adalah sang penabrak melarikan diri.
Korban terkapar bersimbah darah pun, sang penabrak pura-pura tidak mengetahuinya. Beruntung di antara sekian juta anggota masyarakat, pastilah masih ada orang-orang baik yang memiliki 'hati' yang tiba-tiba saja menjelma menjadi 'malaikat' yang dipakai Tuhan untuk menolong korban dengan tulus ikhlas.
Terima kasih atas dikaruniakan-Nya orang-orang baik, dengan hati berlian, yang berkenan menolong sesama dalam penderitaannya, atau yang sedang dirundung malang di jalanan. Semoga Allah membalas dengan kebaikan juga pastinya. Amin.Â
Senyampang masih 'ramadhan' (yang berarti bulan baik, bulan berkah, dan bulan ampunan) ada baiknya kira merenungkan masalah ini. Bagaimana seandainya kita yang menjadi korban itu. Sakit, menderita, dan kesal (sakit hati) karena sang penabrak tidak bertanggung jawab. Jangankan bertanggung jawab, yang ada malah melarikan diri.
Tepo seliro dan rasa tanggung jawab harus kita pupuk sejak dini, sejak sekarang  agar kita bisa disebut 'manusia' yang 'memanusiakan manusia' (Kalau tidak sekarang, kapan lagi? Jangan sampai menunggu sudah tidak bernama manusia lagi)
Mari kita belajar dari budaya Jawa di atas. Belajar menjadi manusia (Indonesia) yang berbudi pekerti luhur dan berjiwa mulia agar perilaku kita semakin memesona. Jika terhadap seekor kucing saja kita harus bertanggung jawab dan takut kuwalat, terlebih lagi terhadap korban manusia yang terpaksa menderita karena ulah kita.
Semoga kita menjadi lebih agamis dan lebih arif. Mampu menyikapi segala persoalan dengan menerapkan ajaran ilahi sesuai agama masing-masing dan dengan demikian bisa menjadi teladan bagi anak cucu dan generasi mendatang. Sebagai bagian dari masyarakat Indonesia yang menempatkan Pancasila sebagai pedoman hidup, kita pun mampu menjadi pioner dan patriot sejati, 'Pancasilais' yang bersemangat empat lima, berakhlak mulia, dan berhati jelita. Dengan demikian, tidak akan ada lagi kasus 'tabrak lari' karena semua merasa peduli terhadap bangsanya yang sebenarnya adalah juga saudaranya sendiri. Semoga ....
Untuk yang sedang mudik, para pengguna jalan raya, hati-hati yaaa ... selamat sampai tujuan tanpa halangan apa pun, amin.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H