Secara  musiman juga dijumpai di sekolah lain yang bertetangga dengan rumah penulis. Malam hari burung itu berada di salah satu sudut gedung lantai tiga. Namun, sambutan pengurus sekolah dan masyarakat sekitar sungguh tak bersahabat.
Burung yang sedang melepas lelah di siang hari itu diburu atau bahkan ditembaki. Tragis, kan? Padahal, mereka ini di malam hari bergerilya berburu tikus sehingga hewan pembawa sampar ini pun tidak merebak.
Keberadaan Burung Hantu ini menyelaraskan, menyelamatkan, dan menyeimbangkan ekosistem alam, menekan jumlah perkembangbiakan dan keberadaan tikus yang sebenarnya cukup meresahkan. Bukannya berterima kasih tikus dimangsa, keberadaannya malah diusik, ditangkap, dan diperjualbelikan di pasar burung atau bahkan ditembaki semena-mena.
     Â
Kecuali  burung pekicau yang laku dan laris manis di pasaran, burung-burung itu tak lagi diperhitungkan. Bernasib sial. Termasuk  jenis kolibri yang cuma sebesar kelingking ini sebenarnya  cukup membantu dan tak merugikan manusia. Selain kupu,  kumbang, dan lebah yang membantu penyerbukan, burung mungil itu juga menjaga tanaman steril dari hama seperti pudak dan ulat. Keper  dan ulat akan diburu hingga ke balik tiap helai daun, dikudap, dan dimangsanya. Burung predator  ini pun patut dilestarikan agar tanaman buah terselamatkan.
Andai  masyarakat sayang dan cinta akan lingkungan, memedulikan keberadaan satwa di sekitar dan tak memperlakukannya secara sembrono, apa yang diciptakan Tuhan Mahaajaib itu masih dapat dinikmati hingga anak cucu. Generasi mendatang masih menjumpai aneka burung. Bayangkan jika punah seperti dinosaurus, paling kita menceritakannya melalui slide atau foto warna. Sayang, kan? Manusia hanya mengeksploitasi tanpa pernah membiarkannya berkeliaran di alam bebas.
Banyak musisi menjadikan burung sebagai objek inspirasi karya ciptanya. Kutilang karya Ibu Sud, misalnya. Bagi Farid Hardja, burung sebagai duta cinta, "Oh burung ... katakanlah, katakan padanya aku rindu ...."
Kesedihan digambarkan sebagaimana burung terperangkap dan terkungkung dalam sangkar, "Hidupku ini ... ooh ... bagaikan burung. Mata terlepas badan terkurung," (versi dangdut) atau, "Hidup bagaikan seekor burung, dalam sangkar yang terkekang ... oh, kuingin bebas" (versi pop).
Â
Bayangkan, bagaimana jika kita menjadi burung yang hanya bisa bernyanyi di sangkar emas! Sedih dan pilu, to?
Back  to nature kembali nge-trend. Banyak orang kembali ke suasana pedesaan dengan suara gemericik air terjun (air mancur) yang (tentu saja) buatan. Memelihara aneka burung berkicau, ayam hutan/bangkok, dan lain-lain agar celotehnya bisa terdengar syahdu sebagaimana suasana alami. Artinya, sebenarnya manusia menyanjung senandung alam ciptaan-Nya. Namun, di alam nyata, manusia ternyata menyia-nyiakan bahkan mengeksploitasi potensi alam secara semena.