Ninik Sirtupi Rahayu
Suatu saat, seorang dokter muda yang bertugas di Puskesmas Tumpang harus merujuk pasien ke RSSA Malang. Pasien yang mengalami kecelakaan fatal tersebut  seorang nenek renta ditabrak pengendara sepeda motor. Pasien dalam keadaan koma dan membutuhkan penanganan khusus. Sang dokter muda bersama pasien gawatnya menumpang ambulans. Namun, ia harus menerima keadaan yang tidak memuaskan.
Menit demi menit bagi seorang dokter menyelamatkan nyawa pasien gawat darurat sangat berarti. Sepanjang  perjalanan meskipun sirine sudah dibunyikan memekakkan telinga, hampir setiap pengguna jalan raya tidak memberikan kesempatan kepada ambulans untuk berjalan tanpa hambatan. Pasien tidak tertolong! Rupanya, hampir semua warga negara kita kurang memedulikan orang lain!
Ada apa gerangan dengan bangsa ini? Semua serba terburu-buru! Semua hanya mementingkan diri sendiri! Tidak memberikan peluang kepada pasien dalam ambulans untuk merebut nyawa! Bahkan hampir setiap hari ada korban yang harus merelakan nyawanya melayang sia-sia di jalan raya karena ulah para pengguna jalan yang tidak berdisiplin alias ugal-ugalan!
Mengapa masyarakat menjadi seperti ini? Ada apa yang salah dengan pendidikan kita? Apakah karena tidak adanya mata pelajaran budi pekerti? Ataukah karena materi budi pekerti dianggap sudah dititipkan pada PPKn dan pendidikan agama? Kita hanya mampu mengelus dada, mendesah .... Maka, melalui pendidikan diharapkan masyarakat lebih santun, berbudaya, dan tepo sliro termasuk di jalan raya.
 Aturan memiliki SIM pada usia minimal 17 tahun dari kepolisian cukup beralasan. Namun, kenyataan di lapangan, sekarang kita dapat melihat banyaknya pengendara sepeda motor yang masih di bawah umur. Mereka berseragam SMP. Kemungkinan besar mereka belum memiliki SIM atau jika telah memiliki pasti merekayasa usia. Nah, di sinilah peran pihak sekolah untuk bertindak tegas.
Secara psikologis, siswa SMP masih berada pada taraf pubertas. Mereka berada dalam situasi stroom and drank 'topan dan dorongan'. Dalam jiwa mereka terdapat setumpuk keinginan yang jika tidak tersalurkan secara positif akan membahayakan kehidupan dan masa depannya. Mereka juga ingin mencoba-coba hal-hal baru yang menantang dan menggembirakan.
Dalam hal ini, jika kepadanya diserahkan sepeda motor, mereka akan mempergunakannya secara kurang hati-hati. Apalagi kalau kendaraan itu bukan milik pribadi.Â
(Jadi teringat salah satu anak didik yang perutnya bocor terkena setang motor yang dipinjamnya. Ya, dia mengalami kecelakaan, tepat sehari sebelum melaksanakan ujian akhir nasional! Terpaksa operasi besar, mengganti motor pinjaman rusak, dan sekian masalah lagi. Padahal kedua orang tua tergolong ke dalam keluarga di bawah garis kemiskinan. Miris banget, kan?)
Mengebut, berjalan zig-zag, mendahului kendaraan lain dari sebelah kiri, tidak mematuhi rambu lalu lintas, berjalan malam tanpa lampu, dan sebagainya akan dilakukan remaja pubertas itu demi pemenuhan keinginan yang menggebu-gebu dan menyenangkan. Mereka mengganggap hal-hal tersebut lucu, membanggakan, dan ekspresif! Padahal, di sisi lain apa yang mereka lakukan tersebut membuat orang lain miris.
Para orang tua yang terpaksa mengizinkan anak-anaknya - yang masih berusia SMP dan belum layak memiliki SIM- berkendara harus ekstrawaspada. Apa yang kita anggap sebagai fasilitas mempermudah mobilitas anak (siswa) dapat menjadi bumerang. Kecelakaan, cedera, hingga kehilangan nyawa menjadi taruhan!