Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - belajar mengingat dan menulis apa yang diingat

Menulis dengan sukacita sebab hati yang gembira adalah obat

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Bukan Cuma Sekadar Curhat

1 April 2024   10:28 Diperbarui: 1 April 2024   10:54 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Ninik Sirtupi Rahayu

Suatu saat, seorang dokter muda yang bertugas di Puskesmas Tumpang harus merujuk pasien ke RSSA Malang. Pasien yang mengalami kecelakaan fatal tersebut  seorang nenek renta ditabrak pengendara sepeda motor. Pasien dalam keadaan koma dan membutuhkan penanganan khusus. Sang dokter muda bersama pasien gawatnya menumpang ambulans. Namun, ia harus menerima keadaan yang tidak memuaskan.

Menit demi menit bagi seorang dokter menyelamatkan nyawa pasien gawat darurat sangat berarti. Sepanjang  perjalanan meskipun sirine sudah dibunyikan memekakkan telinga, hampir setiap pengguna jalan raya tidak memberikan kesempatan kepada ambulans untuk berjalan tanpa hambatan. Pasien tidak tertolong! Rupanya, hampir semua warga negara kita kurang memedulikan orang lain!

Ada apa gerangan dengan bangsa ini? Semua serba terburu-buru! Semua hanya mementingkan diri sendiri! Tidak memberikan peluang kepada pasien dalam ambulans untuk merebut nyawa! Bahkan hampir setiap hari ada korban yang harus merelakan nyawanya melayang sia-sia di jalan raya karena ulah para pengguna jalan yang tidak berdisiplin alias ugal-ugalan!

Mengapa masyarakat menjadi seperti ini? Ada apa yang salah dengan pendidikan kita? Apakah karena tidak adanya mata pelajaran budi pekerti? Ataukah karena materi budi pekerti dianggap sudah dititipkan pada PPKn dan pendidikan agama? Kita hanya mampu mengelus dada, mendesah .... Maka, melalui pendidikan diharapkan masyarakat lebih santun, berbudaya, dan tepo sliro  termasuk di jalan raya.

 Aturan memiliki SIM pada usia minimal 17 tahun dari kepolisian cukup beralasan. Namun, kenyataan di lapangan, sekarang kita dapat melihat banyaknya pengendara sepeda motor yang masih di bawah umur. Mereka berseragam SMP. Kemungkinan besar mereka belum memiliki SIM atau jika telah memiliki pasti merekayasa usia. Nah, di sinilah peran pihak sekolah untuk bertindak tegas.

Secara psikologis, siswa SMP masih berada pada taraf pubertas. Mereka berada dalam situasi stroom and drank 'topan dan dorongan'. Dalam jiwa mereka terdapat setumpuk keinginan yang jika tidak tersalurkan secara positif akan membahayakan kehidupan dan masa depannya. Mereka juga ingin mencoba-coba hal-hal baru yang menantang dan menggembirakan.

Dalam hal ini, jika kepadanya diserahkan sepeda motor, mereka akan mempergunakannya secara kurang hati-hati. Apalagi kalau kendaraan itu bukan milik pribadi. 

(Jadi teringat salah satu anak didik yang perutnya bocor terkena setang motor yang dipinjamnya. Ya, dia mengalami kecelakaan, tepat sehari sebelum melaksanakan ujian akhir nasional! Terpaksa operasi besar, mengganti motor pinjaman rusak, dan sekian masalah lagi. Padahal kedua orang tua tergolong ke dalam keluarga di bawah garis kemiskinan. Miris banget, kan?)

Mengebut, berjalan zig-zag, mendahului kendaraan lain dari sebelah kiri, tidak mematuhi rambu lalu lintas, berjalan malam tanpa lampu, dan sebagainya akan dilakukan remaja pubertas itu demi pemenuhan keinginan yang menggebu-gebu dan menyenangkan. Mereka mengganggap hal-hal tersebut lucu, membanggakan, dan ekspresif! Padahal, di sisi lain apa yang mereka lakukan tersebut membuat orang lain miris.

Para orang tua yang terpaksa mengizinkan anak-anaknya - yang masih berusia SMP dan belum layak memiliki SIM- berkendara harus ekstrawaspada. Apa yang kita anggap sebagai fasilitas mempermudah mobilitas anak (siswa) dapat menjadi bumerang. Kecelakaan, cedera, hingga kehilangan nyawa menjadi taruhan!

(Masih terlintas dalam pelupuk mata dua orang siswi sebuah SMP swasta beberapa tahun lalu yang mengalami kecelakaan dan kehilangan nyawa di Klayatan Gang 3 karena bersepeda motor sambil berpayung! Keduanya tewas di TKP! Dan ... ternyata baru saja bisa mengendarai sepeda motor!)

Mengingat sisi psikis dan banyaknya kecelakaan di jalan raya karena pemakaian sepeda motor tersebut, ada baiknya jika pihak orang tua tidak begitu saja menyerahkan sepeda motor untuk putra-putrinya. Memang, orang tua supersibuk mencari nafkah. Dengan membiarkan anak bersepeda motor sendiri, tugas antar jemput sedikit ringan. Akan tetapi, tidak berarti bahwa anggapan orang tua tersebut dapat dibenarkan begitu saja. Kita harus memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang bisa terjadi.

Seyogyanya berkoordinasi dengan orang tua, sekolah tidak memberikan izin mengendarai sepeda motor secara pribadi bagi siswa yang belum ber-SIM. Sementara orang tua pun tidak mengizinkan putra-putrinya yang masih SMP bersepeda motor. Justru akan lebih baik jika putra-putri mereka diantar jemput. Selain mempererat hubungan batin antara orang tua dan anak, orang tua pun dapat melakukan pengawasan lebih baik kepada putra putrinya. 

Bukankah anak usia SMP masih labil? Bukankah dengan membawa sepeda motor kemungkinan membolos selalu ada? Siswa sangat berpeluang membolos karena mobilitasnya lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa membawa kendaraan roda dua tersebut. Oleh karena itu, orang tua harus berpikir dua kali jika terpaksa menyerahkan sepeda motornya untuk dibawa putra-putrinya.

Apakah kita mengajarkan kepada anak tidak mematuhi aturan kepemilikan SIM sehingga mereka dengan sinis mengejek kita, "Ah, ... semua bisa diatur! SIM kan bisa ditembak, to?"

Nah, bukankah hal ini merupakan bibit penentangan terhadap aturan yang berlaku di negeri ini? Guru (baca: orang tua) kencing berdiri, anak kencing berlari .... Kapan kita mengajarkan kepada anak dan siswa untuk peduli terhadap orang lain, peduli terhadap pengguna jalan yang lain, jika kita sendiri tidak peduli terhadap aturan lalu lintas yang satu ini?

Beruntung saat ini banyak ojol yang bisa kita manfaatkan sebagai sarana antar jemput putra putri kita, bahkan kita sendiri. Namun, tetap saja ... jangan pernah izinkan putra-putri yang belum memiliki SIM mengendarai sepeda motor, apalagi kendaraan roda empat, di jalan raya.

Mari kita ajarkan kepada putra-putri kita hal posistif dengan membudayakan tertib lalu lintas, tertib berkendara agar keselamatan pengendara dan pengguna jalan raya yang makin padat ini saling terjaga. Semoga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun