Mohon tunggu...
Ninik Sirtufi Rahayu
Ninik Sirtufi Rahayu Mohon Tunggu... Penulis - Menulis sebagai refreshing dan healing agar terhindar dari lupa

Menulis dengan bahagia apa yang mampu ditulis saja

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saat Selasih Pulang Sejenak

30 Maret 2024   23:46 Diperbarui: 30 Maret 2024   23:54 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saat Selasih Pulang Sejenak

Oleh: Ninik Sirtufi Rahayu

 

Sekitar jam delapan pagi Selasih sampai di terminal hendak pulang ke kampung halaman di desa. Hatinya sangat bahagia. Sudah dua tahun lebih dia tidak pulang karena sengaja menabung untuk keperluan masa depan. Kini dengan mata berbinar disongsongnya saat pulang dengan bahagia. Pikirnya, dia sekarang sudah lulus SMA. Coba kalau tetap di desa, dia pasti tidak dapat mengenyam dunia pendidikan. Bahkan, jika Tuhan berkenan, dia ingin kuliah di universitas terbuka seperti cerita ibu guru BK-nya di sekolah.

Sepanjang perjalanan, sesungging senyum menemaninya. Ketika bus melewati jalanan berkelok pun dia sudah bisa menikmati. Jauh berbeda dengan dua tahun silam ketika dia berkesempatan pulang pertama kali. Kini dia melihat jalanan yang sama itu dengan sudut pandang berbeda.

"Ya, aku memang harus 'ngabdi' supaya bisa bersekolah tinggi. Kalau nrimo hidup di desa, tak ada yang kuharapkan. Beruntung, ada Mas Haryono anak angkat Bapak dan Emak yang bisa menemani saat Emak kian tua. Apalagi bapak sudah tidak ada dan Emak bersikukuh untuk tinggal di desa. Kata Emak, ketika berada di desa, dekat dengan makam Bapak, hati Emak nyaman dan damai. Emak sudah tidak mau bekerja di kota lagi. Sudah cukup lama Emak bekerja, biarlah kini masa tuanya dihabiskannya di desa. Toh, rumah juga sudah  nyaman digunakan sebagai tempat tinggal," bisik hatinya.

Kalau mengabdi, ikut sebagai abdi pada keluarga kaya, diyakini bisa meningkatkan kualitas pendidikan dan hidupnya. Demikian juga kalau mau nrimo, menerima segala kondisi yang ada. Maka, dikuatkanlah hatinya untuk menapaki jalan hidupnya.

"Emak memang tidak bisa diganggu gugat. Meninggalkan Bapak bertahun-tahun untuk bekerja di kota sudah lelah dilakukannya. Jadi, biarlah sesuka hatinya saja. Toh, aku yang menggantikannya. Justru dengan menggantikan posisi Emak sebagai ART, aku makin pintar. Disekolahkan, diajari berbagai hal dalam rangka mempersiapkan diri sebagai istri yang siap dan prigel  alias terampil dan cekatan, suatu keuntungan besar bagiku. Memperoleh majikan baik hati dan tidak pelit seperti ini juga merupakan suatu anugerah luar biasa. Nah, kurang enak apa, coba?" senyumnya mengembang hingga perjalanan pun dialami dengan tanpa terasa.

Tetiba bus sampai di terminal Blitar. Selasih pun ingin membeli oleh-oleh buat Emak. Dulu biasanya kalau Emak pulang selalu membawakan sambel pecel dan roti semprong. Apalagi carang mas asli kota itu juga enak sekali.

"Pak, berapa lama berhenti di sini?" tanya Selasih kepada kondektur bus.

"Paling tiga puluh menitan, Mbak! Ada yang bisa dibantu?"

"Saya mau beli oleh-oleh sebentar," dalihnya.

 "Tas-e Sampeyan letakkan di depan sini biar aman!" kata sopir sambil menunjuk dashboard agar Selasih meletakkan tas miliknya di sana.

Sang sopir sungguh masih memanusiakan manusia dengan menyebut sampeyan, bukan meng-kamu saja. Sekalipun tergolong kasta bawah, ternyata masih paham tatakrama dan unggah-ungguh berbahasa. Benar-benar kelompok manusia berbudi yang layak diacungi jempol.

 "Beruntung banget Emak memberi kesempatan untukku merantau ke kota menggantikan posisinya sebagai ART. Bukankah memiliki juragan baik hati merupakan idaman para buruh migran alias ART sepertiku? Konon di luar negeri kabarnya begitu banyak juragan tidak manusiawi. Maka, kesempatan emas ini tidak akan kusia-siakan. Mereka bahkan memintaku melanjutkan kuliah dan mengambil les kewanitaan yang kelak bisa berguna bagi kehidupan masa depanku. Hmmm, ... pasti akan kugunakan dengan baik!" pikirnya.

 "Sebenarnya, daripada tinggal di desa daerah pegunungan yang tidak banyak menjanjikan itu, mending merantau ke luar daerah. Apalagi tahun lalu ada puluhan rumah yang terkena retakan tanah dan harus mengungsi. Beruntung rumah sederhana Emak tidak dilalui retakan nendatan itu. Kalau terlewati, bisa jadi cepat atau lambat rumah akan ambruk, dan tanah mengalami ambles. Musim hujan pasti membuat hati ketar-ketir juga, kan? Sangat khawatir," senandika dalam hatinya.

"Apa sih yang diharapkan dari desa minus seperti itu? Hhmmm, harus kuprovokasi nih agar Mas Wawan mau merantau juga," tekadnya membulat.

Selasih dan Pahlawan yang akrab disapa Wawan memang memiliki hubungan spesial. Mereka berjanji suatu saat nanti akan membangun mahligai rumah tangga yang samawa, yakni sakinah, mawadah, warahmah. Mereka berpacaran ala anak muda desa. Artinya, kedekatannya tidak sebebas remaja di perkotaan.

Berjalan menuju ke sawah bersama-sama, ke pasar bareng, sudah cukup membuat mereka puas. Paling-paling hanya berjalan bersama di pematang sawah sambil mencari telur bebek yang tertinggal di persawahan. Berburu telur tercecer merupakan aktivitas menyenangkan juga bagi mereka. Tidak pernah nge-date layaknya remaja di perkotaan.

Wawan termasuk pemuda desa yang tampan dan berperangai baik. Keluarganya mendidik dengan adab dan sopan santun tinggi. Tak pelak kalau banyak yang bersimpati dengan nasib Wawan. Sebenarnya dia punya seorang kakak lelaki, tetapi sama dengan ayah, kakaknya itu pergi merantau dan lupa pulang. 

"Wah, iyaaa ... kayaknya kalau aku menikah dengan Mas Wawan, tidak bisa berkutik juga sih. Pasti ibunya melarang untuk pergi jauh darinya. Ah, entahlah ... bagaimana nantinya saja!" pupus Selasih pasrah.

 "Mbak, ada kabar apa tentang Mas Wawan?" selidik Selasih.

"Hmmm, Mbak dengar-dengar sih ... eh, jangan marah dulu ya ... Pak Kades hendak mengambilnya sebagai menantu. Tapi ... Mbak nggak tahu juga persisnya," ujar Suryanti .

Bagai halilintar di siang bolong. Kepala Selasih seketika terasa hendak meledak. Pandangannya mulai mengabur. Pikirannya merantau ke mana-mana.

"Benarkah Mas Wawan akan menikahi Putri, sahabat masa kecilnya itu? Putri dengan kaki panjang sebelah yang masa kecilnya sering di-bully teman-teman itu? Memang, sih ... wajah Putri cantik, pintar, kalem, dan anak orang kaya pula! Hanya satu saja kekurangannya, cacat kaki yang menyebabkan timpang sehingga kalau berjalan tampak seperti kapal oleng," pikiran Selasih melantur.

Selasih mengingat-ingat beberapa saat silam. Seingatnya, Mas Wawannya itu pria tangguh dan setia. Apakah sepeninggalnya Wawan berubah setia? Apakah karena orang tua Putri memodalinya?    

"Ahhh, ... semakin pusing kepalaku," keluhnya.

Dicobanya untuk menepis segala galau, tetapi tetiba ia teringat nasihat bijak seseorang.

"Hidup adalah perjalanan panjang, seyogyanya tidak untuk disia-siakan hanya dengan memikirkan mereka yang telah menyakiti kita. Lebih baik kita memaafkan dan melanjutkan hidup dengan damai," entah siapa yang berpesan, dia lupa.

Satu lagi quotes yang pernah dibacanya demikian, "Memaafkan adalah bentuk cinta yang tertinggi dan terindah. Sebagai imbalannya, kamu akan menerima kedamaian dan kebahagiaan yang tak terhitung." - Robert Muller.

Dari dua pendapat ini, dia mulai menarik kesimpulan bahwa sebaiknya memaafkan sesiapa yang membuatnya sakit. Bukankah dengan memaafkan dia akan memperoleh ketenangan dan kedamaian? Kalau dipikir-pikir tidak salah seandainya Wawan lebih memilih Putri daripada dirinya. Kedua orang tua Putri yang anak tunggal itu sangat mapan. Hidup keluarganya akan lebih terjamin. Apa yang diharapkan dari dirinya? Hanya sebagai batur, rewang, pembantu rumah tangga, yang lebih keren dengan sebutan Asisten Rumah Tangga alias ART dengan masa depan belum pasti. 

Selasih membolak-balikkan badan dengan pikiran kacau balau. Akhirnya, karena kelelahan dia pun tertidur sejenak. Kepala pusing, mata sembab karena sejak tadi kelenjar air mata bekerja keras dengan melelehkan anak sungai di pipi mulusnya.

Emak yang baru datang diberi tahu Mbak Suryanti  bahwa Selasih sedang beristirahat di kamarnya. Wajah dan netra Emak berbinar, tetapi sebentar kemudian tampak sedih.

"Ndhuk, apa adikmu tahu perihal Wawan?" tanya Emak kepada Suryanti .

"Anu Mak, wau sampun kula sanjangi sekedhik!" sahut Suryanti .

Dia menjelaskan kalau sudah diberitahukan sekilas tentang Wawan yang hendak menikah dengan Putri teman sekolahnya itu.

"Hmm, ya memang ... bagaimana pun Selasih harus tahu. Lebih cepat lebih baik. Wawan tidak mungkin mau menunggunya. Sampai berapa lama akan mbabu dan apa yang diharapkan dari babu seperti putriku itu?" setengah terisak Emak mengeluh lirih.

"Mak, jodoh dan nasib 'kan tidak ada yang tahu. Saya pikir ini lebih baik agar Selasih bisa melepaskan diri dari bayang-bayang desa. Masa depan masih panjang untuknya. Bisa saja dia memperoleh jodoh di kota. Suami yang lebih baik daripada Wawan. Kita nggak boleh berkecil hati dan harus kita mbombong menguatkan hatinya supaya tetap tegar dan tegak!" sahut Mas Haryono yang tetiba sudah berada di dekat mereka.

"Hmmm, bisa juga begitu. Ini pertanda bahwa Wawan memang bukan jodohnya!" sergah Emak sambil menghela napas panjang. "Benar, katamu, Nak!" lanjut Emak beranjak dari kursi yang baru saja didudukinya.

 "Lalu aku harus bagaimana, Mak?" lirihnya.

"Ya, nggak bagaimana-bagaimana. Kalau kamu menjumpainya, katakan saja kamu ikhlas. Kamu juga harus mendoakan kebahagiaannya. Orang yang mencintai itu sebenarnya pasti ingin yang dicintai bahagia. Nah, kalau kamu benar-benar mencintai dia, doakanlah dia bahagia. Paham?" wejangan Emak sungguh sangat mendalam. 

"Apa kamu kira cinta itu harus memiliki dan menikahinya? Kalau masih berpikir seperti itu, salah besar, Ndhuk!" lanjut Emak berfilosofi.

Sambil menunduk Selasih mencerna kata-kata bijak Emak. Tidak pernah menyangka bahwa pengetahuan Emak seluas itu. Wanita yang hidupnya cukup lama di perantauan demi mencari sesuap nasi buat keluarga itu, sungguh sangat perkasa. Bukan hanya sebagai tulang rusuk bagi Bapak, melainkan juga sekaligus tulang punggung. Sementara almarhum Bapak pun sangat mengagumi, mencintai, dan mengagungkan emaknya itu.

 "Emak yakin kamu tahu arti kata 'Selasih', kan? Apik dan berwibawa! Selain cantik di roman muka, juga berperangai jelita," lanjutnya.

Selasih mencoba mencerna filsafat sedalam samudra yang ditebarkan Emak ke dalam hatinya. Selasih tahu dia akan kesakitan oleh peristiwa pernikahan Wawan dengan Putri sahabat masa kecilnya itu. Namun, sekali lagi dia juga menempatkan diri menjadi sosok Putri. Kalau bukan Wawan, siapa yang akan mau menerima dirinya yang tunadaksa itu? Tidak banyak lelaki baik-baik yang bisa menerima kondisi Putri dengan kekurangan fisiknya itu.

Pasti orang akan berpikir, menggandeng Putri yang berjalan timpang akan mengundang pandangan negatif di mata orang-orang yang tidak menyukainya. Minder dan insecure pasti sangat menghantui, baik pada diri Putri sendiri maupun pasangannya.

Selasih tahu, Wawan lelaki baik yang bisa menerima kekurangan Putri. Selasih  pun yakin, Wawan sudah mempersiapkan diri dan hati dengan sangat matang sehingga tidak layak jika dirinya mengusik kebulatan tekad Wawan untuk meninggalkannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun